Aktivis KAMI Digaruk, Presidiumnya Garuk-Garuk

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 14 Okt 2020 21:08 WIB

Aktivis KAMI Digaruk, Presidiumnya Garuk-Garuk

i

Dr. H. Tatang Istiawan

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Sejak Selasa lalu (13/10) Bareskrim Polri menangkap delapan aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia).  Tiga diantaranya deklarator bersama Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan Prof. Din Syamsudin. Lainnya petinggi KAMI di Medan.

Baca Juga: Rabu ini, Prabowo Bintang Empat

Praktis kini di elite politik nasional, ada dua pensiunan jenderal TNI yang saling berhadap-hadapan. Mereka adalah mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko dan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Jenderal yang disebut terakhir adalah mantan Panglima TNI pengganti Jenderal Moeldoko.

Nah, sekarang era keterbukaan, publik bisa mengakses ke berbagai media. Dua jenderal ini sedang “adu” kepentingan politik. Satunya berada di lingkaran kekuasaan dan satunya diluar pemerintahan.

Jenderal Moeldoko, sebagai Kepala Staf Kepresidenan, meski tidak menyebut nama, ia sudah mengeluarkan pernyataan resminya atas aksi yang dilakukan juniornya.

Moeldoko mengatakan “jangan coba-coba mengganggu stabilitas politik. Kalau bentuknya sudah mengganggu stabilitas politik, semua ada resikonya," kata Moeldoko dalam keterangan tertulis, Kamis (1/10/2020).

Moeldoko menyebut KAMI adalah kelompok yang diisi oleh sekumpulan orang yang memiliki kepentingan. Dan pemerintah pun, katanya tidak akan melarang berbagai kelompok atau gerakan yang diciptakan masyarakat.

Pemerintah justru terbuka dengan berbagai kritik serta masukan yang datang dari kelompok itu. Moeldoko menyadari, hal seperti yang dilakukan KAMI melalui deklarasinya  merupakan bagian dari demokrasi.

"Kita tidak perlu menyikapi berlebihan sepanjang masih gagasan-gagasan. Sepanjang gagasan itu hanya bagian dari demokrasi, silahkan," tegas Moeldoko.

Namun, mantan Panglima TNI ini juga menegaskan, negara juga mempunyai perhitungan dalam menempatkan antara demokrasi dan stabilitas.

"Kalkulasinya sekarang sih, masih biasa saja. Tidak ada yang perlu direspon berlebihan. Tetapi manakala itu sudah bersinggungan dengan stabilitas dan mulai mengganggu, saya ingatkan kembali. Negara punya kalkulasi. Untuk itu ada hitung-hitungannya," ujar Moeldoko.

***

Dalam ilmu keuangan, kalkulasi adalah hitung-hitungan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kalkulasi adalah perincian biaya, ongkos, atau pengeluaran; dan perhitungan.

Praktiknya, seorang ekonom atau ahli keuangan adalah ahli yang biasa membuat perhitungan  perencanaan keuangan. Misal kalkulasi soal dana investasi yang terkumpul mencapai Rp11,10 juta. Pada Oktober 2020, uang telah menjadi Rp11,61 juta atau bertumbuh sekitar 4,60 persen.

Hasil nilai investasi tersebut bisa lebih besar apabila dilakukan dengan jangka waktu investasi yang lebih panjang dan ditempatkan pada aset lain yang berpotensi memberi keuntungan (return) lebih tinggi.

Namun, dalam kalkulasi ini seorang ekonom tetap memperhatikan bahwa semakin tinggi tingkat keuntungan (return) yang diharapkan, maka akan semakin tinggi pula risiko yang harus ditanggung (high risk high return). Artinya, kalkulasi keuangan sebuah investasi mesti disesuaikan dengan profil risiko masing-masing.

Nah, dalam politik bisa jadi seorang politisi membuat kalkulasi yang sama bahkan lebih rumit dari seorang ekonom. Apalagi bila politisi ini berada dalam posisi pengola negara. Secara konstitusi, seorang politisi yang berkuasa memiliki beberapa sayap. Antara lain punya sejumlah institusi. Diantaranya Polri, BIN dan TNI.

Maklum, di Indonesia seorang kepala pemerintahan merangkap juga kepala negara. Logika hukumnya, Polri, TNI dan BIN, selain bagian dari suatu pemerintahan, juga alat negara.

Kini, Polri menangkap delapan aktivis dan deklarator KAMI. Mereka ada yang dijaring dengan UU ITE. Semua yang digaruk telah ditahan di Bareskrim Polri.

Bagi orang hukum, UU ini amat luas jangkauannya. Seorang aktivis KAMI yang kini ditangkap dan ditahan bisa diperiksa sampai “blusukan” menarik-narik deklarator bahkan presedium KAMI.

Praktik penyidikan gunakan UU ITE bisa membuat presidium dan deklartor garuk-garuk kepala, bikin pernyataan.

Baca Juga: Kodim 0819 Pasuruan Gelar TMMD Ke 119 Tahun 2024

Sebagai presidium organisasi moral sekelas KAMI yang diproklamirkan terdiri orang-orang intelektual, mereka sadar bahwa  sebuah penangkapan semestinya dilakukan dengan berdasarkan pada alat bukti yang cukup diduga melakukan suatu tindak pidana. Apalagi terhadap tersangka yang bergerak di ranah politik.

Apalagi diantara deklarator ada mantan anggota Komisi III DPR-RI bidang hukum, Achmad Yani. Logika saya berbisik, bila Bareskrim Polri saat melakukan penangkapan ada kesalahan prosedur, mengapa tidak dilakukan praperadilan. Tetapi hanya membuat pernyataan yang menurut akal sehat saya, isinya bersifat politis.

 Nah Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, yang telah menjadi warga sipil, mesti sadar ia bisa diseret ke materi yang terkait ketersangkaan tiga deklarator KAMI. Minimal dipanggil sebagai saksi. Ini artinya, sebagai orang sipil, Gatot Nurmantyo, bisa dipanggil berkali-kali menjadi saksi.

Maka itu, sebagai presidium KAMI, saat ini, Gatot Nurmantyo, mestinya membentuk tim hukum untuk mempraperadilan Polri. Ia bisa mengajak Din Syamsuddin, dan Rochmat Wahab.

Nyatanya, sebagai Presedium KAMI, Gatot, Din dan Rochmat hanya  menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut. Ketiganya menilai penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat.

Akal sehat saya mengatakan presidium KAMI ini, sampai Rabu kemarin, sepertinya tidak atau belum menggunakan kalkulasi politik dan hukum sekaligus.

***

Kalkulasi dalam dunia politik, memang tidak mengenal rumus permusuhan abadi ataupun teman abadi. Kalkulasi yang dimiliki elite politik hanyalah kepentingan (kekuasaan).

Dulu saat masih sama-sama sebagai prajurit TNI, Jenderal Moeldoko adalah senior Jenderal Gatot Nurmantya. Ibaratnya saat masih di TNI keduanya berteman. Tapi kini keduanya sudah menjadi individu non kombatan. Dari pernyataan Moeldoko dan deklarasi Gatot Nurmantyo, keduanya terkesan “bermusuhan”.

Tapi one day, keduanya bisa saja menjadi teman. Ini saya mencatat tentang persaingan politik antara Jokowi dan Prabowo, dalam Pilpres 2019 lalu.

Baca Juga: Realisasikan Program Prioritas Desa Berjaya, Bersama TMMD ke 119

Jadi, akal sehatnya, di Indonesia, urusan pertemanan atau permusuhan dalam politik praktis, layaknya harus dibaca bukan musuh atau teman sesungguhnya.

Saya masih mencatat dua jenderal ini pernah menjadi teman, karena kepentingan di militer. Bila kini bisa menjelma menjadi ‘’musuh’’ akal sehat saya berkata itu permusuhan hanya urusan seperiuk  kepentingan.

Kelak bila ada tawaran  terkait “siapa mendapatkan apa?”  bisa jadi, Moeldoko dan Gatot Nurmantyo, bisa menggunakan mekanisme “rational choice” atau pilihan rasional. Mekanisme ini menggunakan kalkulasi politik dan ekonomi untung dan rugi secara material.

Ini saya serap dari pernyataan tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin, dalam program di sebuah TV Swasta. Ngabalin, pernah menjadi timnya Prabowo. Dan kini bergabung ke Jokowi. Peralihan politik ini terkait kepentingan apa saja, termasuk toleransi berbangsa.

Nah, menyoal pernyataan Ngabalin itu sebagai paradigma realisme politik, maka sikap yang diambil oleh siapapun elit politik (bisa juga Jenderal (Purn Moeldoko dan Gatot Nurmantyo)  dapat dimaknai sebagai jalan untuk mencapai kepentingan masing-masing pihak. Tentu bisa menggunakan alasan yang dipakai Ngabalin, cara-cara  rasional. Diantaranya  terkait pembagian kursi kekuasaan di dalam pemerintahan yang akan berlangsung  setiap lima tahun sekali.

fenomena bergabungnya Prabowo dalam pemerintahan Jokowi, adalah peta politik nasional. kondisi politik nasional.

Saya sebagai warga Negara juga bertanya-tanya terkait prubahan dua kubu yang sebelumnya berada pada posisi yang berlawanan dan saling hantam saat Pilpres 2019, tiba-tiba, kini masing-masing pihak sama-sama mengambil sikap yang berbeda dengan sebelumnya.

Suka atau tidak, sadar atau tidak, itulah kejutan yang dilakukan oleh para elit politik nasional pasca reformasi. Mereka yang dulu bermusuhan di politik bisa  saling membuka diri dan saling membuka pintu peluang untuk menjalin koalisi.

Praktik semacam ini bisa  menjadi suatu “shock therapy” bagi masyarakat awam politik. Bukti, sejumlah tokoh politik yang sebelumnya diagung-agungkan dan selalu benar di mata masyarakat awam politik, bisa tampil mesra di depan media. Bahkan bisa  saling mendukung.

Bukan tidak mungkin, presidium KAMI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bisa tampil mesra dengan Jenderal (Purn) Moeldoko. Ini sebagai pengejawantahan, tidak ada lawan yang abadi. Dan tidak ada kawan abadi. Kecuali kepentingan kekuasaan. Setuju. n [email protected]

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU