Alasan Penyebutan Tionghoa Bukan Cina, Menurut Sejarah

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 06 Nov 2019 16:19 WIB

Alasan Penyebutan Tionghoa Bukan Cina, Menurut Sejarah

SURABAYAPAGI.COM - Pemakaian kata Cina atau Tionghoa kepada Warga Negara Indonesia (WNI) yang keturunan Cina kerap menjadi perdebatan. Dewasa ini pemerintah menganjurkan bahkan menekankan untuk tidak lagi memakai istilah Cina, akan tetapi diubah menjadi Tionghoa. Karena dianggap menjadi masalah serius dan berkaitan dengan SARA, pada 2011 kemudian diadakan diskusi bahasa. Diskusi ini membahas terkait istilah Cina dan Tionghoa. Diskusi bahasa itu bertema "Diskusi Bahasa Duduk Perkara istilah Cina: Berbagai Pandangan dan Pilihan Lain". Dikisahkan pemerhati bahasa, Ivan Lanin, di blognya, acara itu dimoderatori oleh T.D. Asmadi, menghadirkan empat pembicara: (1) Wakil Kedutaan Besar Tiongkok, (2) Wakil Kementerian Luar Negeri Indonesia, (3) Wakil Badan Bahasa, dan (4) Remy Silado; budayawan. Dalam diskusi tersebut, wakil dari Kedutaan Besar Tiongkok menyarankan untuk tidak lagi menggunakan istilah Cina. Alasannya, istilah tersebut digunakan oleh Jepang terhadap Tiongkok pada masa perang yang memiliki konotasi negatif. Namun, lain dengan Abdul Gaffar Ruskhan dari Badan Bahasa. Beliau mengungkapkan bahwa istilah Cina merupakan istilah yang sudah biasa dan tidak memiliki konotasi negatif. Remy Silado memaparkan sejarah dan berbagai penggunaan kata "Cina" dalam bahasa Indonesia. Perdebatan itu berujung pada diterbitkannya Keputusan Presiden No. 12 tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keppres tersebut berisi tentang pencabutan yang sebelumnya telah ditetapkan Soeharto, Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, dalam surat edaran tersebut mengimbau untuk menggunakan istilah Tjina dan meninggalkan istilah Tiongkok dan Tionghoa, tidak menyebutkan apa dasarnya. Dengan berlakunya Keppres Tahun 2014 itu, maka semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan istilah orang dari atau komunitas "Tjina/China/Cina" diubah menjadi orang dan/atau komunitas "Tionghoa". Penyebutan "Republik Rakyat China" diubah menjadi "Republik Rakyat Tiongkok". "Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal ditetapkan," demikian bunyi Keppres yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Maret 2014 itu. Namun sebelum Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Kepres tersebut, sebenarnya Presiden Abdurrahman Wahid sudah terlebih dulu memakai istilah Tionghoa ataupun Tiongkok. Hal tersebut bisa dilihat dari laporan kerja pemerintahannya pada Agustus 2000. Sebelumnya Gus Dur, sapaan akrabnya, sudah menggunakan sebutan Republik Rakyat Tiongkok. Seperti ditulisnya esai berjudul "Beri Jalan Orang Tionghoa" (Majalah Editor, edisi 21 April 1990) tersebut, Gus Dur mengajak kita untuk memberi ruang bagi orang-orang Tionghoa, agar mereka ikut memberi sumbangsih bagi Indonesia, yang itu juga tidak hanya di bidang bisnis. Gus Dur mengurai, betapa orang-orang Tionghoa dalam sejarah panjangnya dari masa VOC hingga Orde Baru hanya diperas kekayaannya untuk kepentingan penguasa. Selain itu, Gus Dur juga mengajak kita untuk mengurangi persepsi negatif terhadap kelompok etnis ini. Persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap mereka seperti itu akan memperkokoh posisi kolektif mereka dalam kehidupan berbangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka, tulis Gus Dur. Kemudian, ia melanjutkan Semua itu harus dilakukan dengan menghormati kesucian hak milik mereka, bukan dengan cara paksaan atau keroyokan. Kalau begitu duduk perkaranya jelas, akses orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan apa pun, jelas Gus Dur. Gus Dur saat itu juga mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tahun 1967 dalam KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2000 TENTANG PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA, KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA ditetapkan di Jakarta, pada 17 Januari 2000 Salah satu yang termaktub dalam surat edaran itu pada (Menimbang poin B) Bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, dirasakan oleh warga negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya. Pertimbangan istilah Tjina yang merupakan pengganti istilah Tionghoa/Tiongkok telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga Indonesia dari keturunan Tionghoa. Saat itu Presiden SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau ras tertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia. "Karena itu, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis," petik menimbang poin b Keppres tersebut. Sebelumnya, pada masa kolonial Belanda, masyarakat Tionghoa di Indonesia juga sudah meminimalisasi pemakaian istilah Cina atau Tjina. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai publikasi dan percakapan-percakapan saat itu. Tapi, pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto, penggunaan istilah Tiongkok atau Tionghoa dilarang. Alasannya, istilah itu dinilai merugikan Indonesia. Imbasnya, disahkanlah Presidium Kabinet Ampera pada 25 Juli 1967, istilah yang boleh dipakai adalah Cina karena dinilai lebih disenangi rakyat Indonesia. Namun sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam menilai, Soeharto mengganti Tiongkok dan Tionghoa dengan Cina untuk menghilangkan rasa inferior suku lain terhadap suku Cina dan kesan superior suku Cina itu sendiri. "Namun penamaan ini tidak tepat dan terkesan dipaksakan," ungkapnya.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU