Awal Kebencian terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 06 Nov 2019 16:21 WIB

Awal Kebencian terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia

SURABAYAPAGI.COM - Amy Freedman dalam penelitiannya dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat menyebutkan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah belah (Devide et Impera) Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto. Termaktub dalam penelitian berjudul "Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia," Freedman menyebut Soeharto represif terhadap masyarakat Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka bukan sebagai pribumi. Pada masa Soeharto, sebagian kecil etnis Tionghoa di Indonesia dapat menikmati berbagai fasilitas investasi sehingga ekonominya naik dan menjadi sangat kaya. Sekelompok kecil ini akhirnya disumsikan sebagai representasi seluruh etnis Tionghoa, sebagai kelompok yang memiliki kekuasaan dan punya kekayaan dengan cara yang culas. Kejatuhan Soeharto pada 1998 membuat pembedaan ini menjadi semakin rumit. Kerusuhan yang muncul di berbagai kota di Indonesia menargetkan masyarakat Tionghoa sebagai sasaran kebencian. Dalam Jakarta: Sejarah 400 tahun karya Susan Blackburn dituliskan, bahwa kebencian pada kelompok Tionghoa bisa dilacak hingga empat ratus tahun yang lalu. Masyarakat Tionghoa sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat saat itu setara sebagai rekan pedagang. Saat VOC masuk, kondisi berubah. VOC memanfaatkan masyarakat Tionghoa sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat. Namun, hubungan mesra antara masyarakat Tionghoa dan VOC tidak berlangsung lama. Pada Oktober 1740 seperti yang ditulis Susan, wilayah sekitar Batavia menjadi saksi pemberontakan petani Cina. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Cina berbaris menuju kota, tempat ratusan kawan sebangsanya tinggal di dalam dinding kota. Meskipun orang Cina yang tinggal di kota sedikit sekali atau sama sekali tak berhubungan dengan orang Cina di luar dinding kota, beredar isu bahwa mereka berencana membantu para pemberontak. Orang Eropa serta pribumi mencurigai dan merasa paranoid, membuat kondisi makin memburuk. Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa ini. Tidak hanya membunuh mereka juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa. Saat itu Gubernur Jenderal Adrian Valckenier mengeluarkan surat perintah untuk membunuh dan membantai orang-orang Tionghoa. Sebanyak 500 orang Cina yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan keji. Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di Batavia ini dikenal dengan istilah Geger Pecinan. Senada dengan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Hoakiau di Indonesia, bahwa terjadi sejumlah konflik rasial dengan etnis Tionghoa sebagai korbannya. Pada Tahun 1740, di bawah Gubernur Jenderal Valckenier, Belanda menangkapi warga Tionghoa. Selanjutnya, terjadi pembantaian dalam skala besar. Diperkirakan ada 10 ribu warga Tionghoa baik itu lelaki, perempuan, tua, muda sampai bayi di Batavia dihabisi oleh Belanda. Peristiwa berdarah tak berhenti sampai di situ. Belanda menunjuk sebuah tempat tinggal bagi etnis Tionghoa di seberang barat kali Citarum. Lokasi pemukiman ini berada pada jarak tembak meriam mereka. Pram juga mencatat, pada tahun 1764 di bawah Gubernur Jenderal Van Der Parra melarang etnis ini tinggal dan berdagang di daerah Periangan. Pribumi dipisahkan dengan warga Tionghoa jadi agenda politik kolonial. Belanda takut terjadi persatuan dan solidaritas antar kedua etnis itu. Pada 1835, Belanda menjalankanwijkenstelseldi mana warga Tionghoa dikumpulkan di suatu tempat atauGhetto-ghetto. Jelasnya politik kependudukan ini merupakan usaha untuk memecah-belah dan membeda-bedakan, terutama sekali karena pada waktu itu Indonesia belum lagi mengenal nasionalisme, jelas Pram (1998:133) Meski peristiwa Geger Pecinan momen berdarah bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia, tapi bukan satu-satunya momen berdarah yang dialami masyarkat Tionghoa. Dalam buku karya Benny G Setiono Tionghoa dalam Pusaran Politik disebutkan, pembantaian etnis Tionghoa juga terjadi pada masa Perang Jawa (1825-1830). September 1825, pasukan berkuda yang dipimpin putri Sultan Hamengku Buwono I, Raden Ayu Yudakusuma, menyerbu Ngawi, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang terletak di tepi Bengawan Solo. Dalam perjalanan itu banyak orang Tionghoa yang dibunuh tak peduli anak-anak atau perempuan. Mereka dibunuh dan tubuh-tubuh yang terpotong dibiarkan di jalanan. Di seluruh Jawa Tengah dan di sepanjang Bengawan Solo, pembantaian terhadap warga Tionghoa terjadi berulang kali, tulis Benny Sebenarnya. kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan konstruksi sosial yang dibikin oleh penguasa, baik Belanda maupun Jawa. Dalam artikel Duka Warga Tionghoa di majalah Historia, Hendri F. Isnaeni, menyebutkan bahwa sejarah mencatat, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Mulai Chinezenmoord 1740 sampai Mei 1998. Dalam konteks Perang Jawa masyarakat Jawa saat itu membenci orang Tionghoa karena menjadi bandar-bandar pemungut pajak. Orang-orang Tionghoa oleh para Sultan Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai dan pasar. Melihat efektifnya orang-orang Tionghoa memungut pajak, Belanda dan Inggris melakukan hal yang sama di daerah-daerah yang telah dikuasainya. Tragedi pembantaian Perang Jawa membuat kebencian antara Etnis Jawa dan Tionghoa berkembang. Orang Tionghoa menjadi takut terhadap Orang Jawa sementara Orang Jawa menganggap Tionghoa sebagai mata duitan dan pemeras. Kebencian ini mendarah daging, menyebar luas, tanpa sempat ada rekonsiliasi atau klarisifikasi. Kebencian yang menahun ini kemudian berkembang di Indonesia. Hendri F. Isnaeni menulis bahwa pada awal abad ke-20, kembali tercatat peristiwa rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu kerusuhan di Solo pada 1912 dan kerusuhan di Kudus pada 1918. Pada masa revolusi, kembali terjadi gerakan anti etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Tangerang pada Mei-Juli 1946, Bagan Siapi-api pada September 1946, dan Palembang pada Januari 1947. Tragedi terhadap masyarakat Tionghoa berikutnya terjadi pada saat 1965. Cina yang menjadi negara komunis besar saat itu dianggap punya peran dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S). Banyak masyarakat Tionghoa saat itu yang menjadi korban karena dianggap komunis atau mata-mata Tiongkok. Kebencian ini tidak berhenti sampai situ saja, orang-orang Cina dianggap sebagai cukong dan pemeras harta masyarakat lokal. Di sini ide primordial pribumi melawan pendatang menjadi legitimasi untuk melakukan kejahatan. Namun, pasca proklamasi kemerdekaan Indoneisia bukan berarti menghentikan kebencian rasial terhadap etnis Tionghoa. Sentimen itu terus mengemuka. Ricard Robinson dalam bukunya Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia menyebut ada Program Banteng yang dilaksanakan September 1950 1955 untuk mendukung pengusaha pribumi. Warga Tionghoa meski lahir dan beranak pinak di Indonesia tak masuk dalam program itu. Mereka tetap diperlakukan sebagai orang asing. Sedangkan, Sumit Kumar Mandal dalam buku Pram dan Cina, menyebut politik anti-Tionghoa pasca kemerdekaan berlangsung sejak 1956. Angkatan Darat memburu warga keturunan Tionghoa pada 1959-1960. Soal pembatasan perdagangan, pada 16 November 1959 muncul PP 10/1959. Tujuannya, mengakhiri bentuk perdagangan eceran di daerah pedalaman yang dikendalikan warga Tionghoa. Tidak kurang 100 ribu warga Tionghoa meninggalkan Indonesia pada kurun 1960-1961 pasca ditetapkannya PP-10/1959. Kolonel Kosasih, Panglima Kodam Siliwangi Jawa Barat melarang pemukiman warga Tionghoa di pedesaan. Tentara melemparkan ratusan keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang dibangun tergesa-gesa. Tidak jarang, perlawanan yang timbul dihadapi dengan perlakuan keras, tulis Sumit Kumar Mandal. Dalam konteks yang lebih modern ada dua peristiwa diskriminasi dan kekerasan yang sangat keji terjad terhadap etnis Tionghoa. Pertama adalah pembantaian terhadap 30.000 orang etnis Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat pada 1967 atas nama PGRS/PARAKU. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) menyebut terjadi pembersihan etnis dalam peristiwa ini, sementara dalam buku Tandjoengpoera Berdjoeang, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh, 101.700 warga mengungsi di Pontianak dan 43.425 orang di antaranya direlokasi di Kabupaten Pontianak. Selanjutnya tentu saja saat peristiwa kerusuhan 1998. Etnis Tionghoa menjadi korban kekerasan, penjarahan dan diskriminasi hebat. Gejala Xenofobia ini merupakan buntut dari kesenjangan ekonomi dan kebencian berdasar prasangka kepada etnis Tionghoa. Saat peristiwa ini terjadi banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa, tokonya dibakar dan usaha milik mereka dirusak. Kasus ini tak pernah selesai sampai hari ini dan pelakunya tak pernah diusut. Negara juga berperan menjadi aktor dalam penyulut kebencian terhadap etnis Tionghoa. Melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, negara berperan melakukan identifikasi rasial dan segregasi identitas. Surat itu adalah upaya penyeragaman penyebutan kelompok etnis Tionghoa yang dianggap mengandung nilai-nilai yang memberi asosiasi-psikopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, menjadi Cina yang dianggap lebih dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia. Indarwati Aminuddin, seorang penulis, pernah menyusun laporan menarik tentang Prasangka Media Terhadap Etnik Tionghoa pada 2002. Laporan itu dengan bernas mengupas dan mempersoalkan sejauh mana pencantuman identitas rasial seseorang relevan dalam laporan/karya jurnalistik. Profiling atau penyosokan menjadi relevan untuk menjelaskan konteks identitas seseorang dalam pemberitaan. Maka Indarwati mengatakan bahwa atribusi yang relevan membantu publik memahami persoalan dengan lengkap. Namun, atribusi yang tak relevan justru menciptakan kesan bahwa kesalahan seseorang terkait dengan identitasnya, entah itu suku, agama, ras atau bahasa. Indarwati lantas memberikan sebuah contoh dari berbagai media di Indonesia yang melakukan profiling terhadap etnis Tionghoa dalam framing berita. Frasa seperti warga keturunan dan pribumi kerap disandingkan untuk menjelaskan posisi korban dan pelaku. Dalam tulisannya itu Indarwati mengatakan bahwa media sekelas Tempo pernah melakukan profiling dengan tendensi rasis. Berita yang berjudul Bye, Bye, Bank Cina Asli. Bye? edisi 25 Februari - 03 Maret 2002, Tempo menuliskan tentang Bank Central Asia yang memiliki akronim BCA. BCA dimiliki oleh Liem Sioe Liong, orang Cina, asli kelahiran Fujian. Atribusi ini dianggap bermasalah oleh Inarwati. Menurutnya pemberitaan itu, Tempo menggiring pembacanya untuk berpikir BCA hanya untuk orang Cina. Bahwa BCA adalah bank yang menghidupi orang-orang Cina cetusnya. Indarwati juga menuduh bahwa Tempo melakukan framing penggunaan kata BCA. Bank Cina Asli itu bukan sebuah istilah yang bisa didengar di mana-mana hingga Tempo membuatnya jadi plesetan umum, tukasnya.

Editor : Redaksi

Tag :

BERITA TERBARU