Sadar Politik, tak Perlu Terpancing Gorengan Politisi soal PKI

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 27 Sep 2020 21:24 WIB

Sadar Politik, tak Perlu Terpancing Gorengan Politisi soal PKI

i

Dr. H. Tatang Istiawan

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Saya termasuk warga negara yang tidak mau berpolitik seperti anjuran Niccol Machiavelli dalam Il Principe.

Baca Juga: Isu PKI, Bikin tak Mendidik

Macchiavelli mengatakan bahwa rakyat yang memilih diam dalam isu-isu krusial akan dihormati dan diberikan tempat khusus oleh masyarakat. Tetapi sayangnya, mereka selalu kalah dan tunduk pada mereka yang memilih bertindak. Saya terngiang juga dengan ajaran Socrates dan Aristoteles.

Dua filsuf ini mengajarkan manusia harus terus menerus menambah ilmu pengetahuan. Makanya, karena keilmuannya, baik Socrates maupun Aristoteles dijadikan orang-orang terhormat pada zamannya. Tetapi naas, akhir hidup dua filsuf ini jatuh bukan oleh kehendak Tuhan, tetapi oleh mereka yang berkuasa. Alhasil, Socrates dipaksa minum racun dan Aristoteles diusir dari rumahnya dan mati di pengasingan.

Pengalaman Machiavelli, Secrates dan Aristoteles, cermin bahwa kita selama hidup di suatu negara, akan selalu bertemu dengan politik.

Nah, kapan pun dan dimana pun sebagai jurnalis, saya selalu bersentuhan dengan orang-orang politik sekaligus politik licik.

Saat bertemu para politisi, saya selalu sadar kedudukan sebagai warga Negara yang taat. Dalam kedudukan seperti ini saya sadar termasuk warga negara yanh mendapat prioritas kebijakan yang diambil para politisi, baik di legislative maupun eksekutif.

Maklum umumnya politisi memerlukan suara warga negara. Dan saya, meski tidak berpolitik praktis termasuk dalam radar jangkauannya.

Akal sehat saya tersadarkan dalam pilpres pun seharusnya saya yang dihormati para politisi. Ini karena saya sebagai rakyat adalah golongan mayoritas untuk memilihnya. Apalagi saya warga negara yang tidak berkelakuan licik, lompat partai politik A, ke B atau B dan ke C. Maka saya pun tak pernah takut pada politisi Indonesia yang umumnya licik dan punya sifat kutu loncat. Ini karena saya termasuk warga negara yang sadar politik.

***

Setiap September selalu ada gemuruh urusan PKI yang sudah bubar dan dilarang oleh Negara Inonesia. Ini karena pada akhir bulan September 1965 terjadi tragedi pemberontakan G 30 S PKI. Peristiwa ini telah difilmkan saat pemerintahan Orde Baru. Film itu telah cukup menggambarkan kejahatan dari sebuah gerakan politik yang berideologikan Komunis bernama Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bangsa Indonesia tahu bahwa  PKI telah dibubarkan berdasarkan  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966. Tap MPR ini  tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.

Dalam Tap ini dinyatakan juga bahwa PKI adalah Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara. Disamping itu, ada larangan dalam setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Secara akal sehat, rumusan Tap ini sudah jelas, terang dan gamblang, tidak mudah ditafsirkan. Dengan rumusan seperti itu, secara konstitusional, Tap MPR ini berlaku tidak hanya untuk pembubaran PKI, tetapi juga larangan terhadap penyebaran paham atau ajaran komunis dan marxisme-leninisme.

Pertanyaannya, mengapa sampai sekarang masih ada politisi yang mendengung-dengungkan ancaman PKI dan ajaran komunisme saat kapitalisme berkibar-kibar di negeri ini?

Menurut akal sehat saya, denggung-denggungan semacam itu tak ubah orang diluar kekuasaan yang ingin mencari panggung politik. Dalam bahasa logikanya, mereka yang seperti itu merasa sok Orde Baru. Padahal pengikut Orde Baru sejak  “dienyahkan” oleh gerakan reformasi 1998, tiarap.

***

Ilmu pengetahuan telah memberi informasi bahwa ideologi komunis, sesungguhnya sudah bangkrut. Semua orang berpengetahuan tidak memungkiri fakta ini.

Negara-negara penyokong utama paham komunis seperti negara eks Uni Soviet, Rusia dan Tiongkok bahkan sudah menanggalkan ideologi komunis. Begitu pun negara-negara Blok Timur seperti Rumania, Bulgaria, dan Yugoslavia juga sudah berubah menjadi negara kapitalis. Termasuk negara lapis ketiga komunis seperti Vietnam dan Kuba. Dua negara ini pun sedang berproses menjadi negara kapitalis.

Lagi-lagi ilmu pengetahuan mengajarkan bahwa negara-negara tersebut meninggalkan komunisme, karena ideologi ini terbukti tidak mendatangkan kemakmuran bagi rakyatnya. Juga ideologi ini terbukti menciptakan kemiskinan bagi masyarakatnya.

Maka itu PKI bangkit, bahaya PKI dan munculnya PKI gaya baru, bak “produk” usang dalam marketing mix yang akan dijual elite politik yang berada diluar kekuasaan sekarang. Elite dan tokoh politik semacam ini sepertinya tak paham konsep marketing politik . Isu politik PKI semacam itu menurut ilmu marketing politik sudah basi.

Politisi semacam ini, dalam marketing politik bisa dianggap tidak lagi dapat mengakomodir kebutuhan marketer untuk memasarkan produknya. Gorengan-gorengannya bisa dianggap tidak berinovasi, sehingga tidak bisa mengembangkan ‘’jualannya’’ supaya bisa jadi top of mind masyarakat.

Politisi semacam ini adalah politisi yang tidak mau mengganti konsep Product  konsep marketing menjadi Solution. Secara ilmu, produk Komunis itu bukan solusi anak milineal yang telah akrab dengan kapitalisme dan liberalism.

Saya yang meski bukan generasi milenial, tetapi masih memiliki sadar Politik, disadarkan oleh akal sehat tak perlu ikut-ikutan terpancing gorengan politisi soal PKI sebagai product jualan politiknya. Saya sadar, PKI sebagai parpol sudah dibubarkan dan ajarannya juga dilarang. Logika saya selalu mencatat bahwa isu PKI, diolah bak pisang kepok yang digoreng-goreng setiap memasuki bulan September. Salahkah? Tidak. Kekejaman PKI harus diingat, agar generasi milenial tahu sejarah PKI adalah gerombolan pemberontak pada tahun 1948 dan 1965z

Menurut ajaran yang saya peroleh dari Socrates dan Aristoteles, saya optimistis PKI tak bisa bangkit dan hidup lagi di Indonesia (ilmu pengetahuan), karena adanya TAP MPR no XXV/ tahun 1966.

Apalagi perjalanan sejarah dunia sejak tahun 1965 juga mencatat paham komunisme sudah ambyar berkeping keping di Rusia, Eropa Timur, Vietnam, Kuba dan di RRC. Bahkan sejarah mencatat, komunis baru bisa bangkit di suatu karena punya organisasi partai politik.

Nah sebagai warga negara yang sadar politik dan suka menggunakan ilmu pengetahuan, saya tidak percaya PKI bakal bisa bangkit lagi di Indonesia tanpa partai politik. Apalagi paham komunis ditengah kehidupan yang makin kapitalistik, sudah tak digandrungi. Termasuk anak-anak milenial yang sudah terbiasa kehidupan hedonisme ketimbang hidup miskin kebiasaan PKI.

Ilmu pengetahuan mengajarkan  bahwa komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.

Ini merupakan sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848. Semua pembelajar tahu bahwa teori mengenai komunis tentang sebuah analisis terkait perjuangan kelas dan ekonomi kesejahteraan. Ini pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik masa lalu.

Imu pengetahuan mencatat, dalam komunisme acapkali merujuk perubahan sosial yang biasa dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis.

Bahasa lazimnya, perubahan sosial selalu dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar.

Dan pengorganisasian buruh hanya dapat berhasil bila diorganisir melalui perjuangan partai politik. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Di RRC perubahan sosial bisa berhasil karena dicetuskan oleh Politbiro.

Di puncak kekuasaan di RRC yang sekarang, politbiro memastikan garis partai ditegakkan dan tetap mengendalikan tiga badan penting yaitu Dewan Negara, Komisi Militer Pusat dan Kongres Rakyat Nasional atau parlemen.

Dewan Negara adalah pemerintah, yang dipimpin oleh perdana menteri. Meski saat ini Perdana Menteri Li Keqiang, berstatus junior di bawah presiden.

Perannya adalah mengimplementasi kebijakan partai di seluruh negeri, terutama mengelola rencana ekonomi nasional dan anggaran negara. Di Indonesia sudah tidak ada partai politik komunis dan politbiro.

Berbeda di RRC, Partai Komunis Tiongkok memegang kendali penuh atas negara, dari pemerintah hingga polisi dan militer.

Dengan sekitar 90 juta anggota, partai diorganisasikan seperti skema piramida, dengan politbiro partai dan akhirnya Presiden Xi Jinping, berada di puncaknya.

Praktiknya, meski China memiliki parlemen, (Kongres Rakyat Nasional) pengambilan keputusan akhir untuk sebuah kebijakan tetap ada di tangan kepemimpinan partai.

Partai Komunis juga mencengkeram kuat media dan internet untuk membungkam perbedaan pendapat. Mereka mengelola 'departemen komunikasi, diseminasi informasi, publisitas dan propaganda', serta 'lembaga percetakan & penerbit pemerintah' dengan daya jangkau internasional (masing-masing merupakan lembaga setingkat kementerian).

Sejauh ini, skema kekuasaan di RRC itu tidak terjadi di Indonesia. Bahkan buruh di Indonesia (131.005.641 orang) bersemayam di berbagai organisasi buruh, bukan satu organisasi buruh seperti orde lama dulu. Justru organisasi buruh yang paling vocal era reformasi sekarang berafiliasi ke sebuah partai politik berwarna keagamaan.

Akal sehat saya berkata umumnya anak muda sekarang berpengetahuan dan sudah cerdas. Dan dengan kecerdasannya umumnya anak muda tidak termakan isu yang digoreng-goreng oleh politisi. Ini karena mereka punya dua hal, sadar politik dan suka menimbah ilmu pengetahuan.

Menggunakan kesadaran politik dan ilmu pengetahuan, saya sendiri heran PKI sebagai partai politik yang telah dibubarkan dan dilarang,  masih digoreng-goreng dengan isu PKI gaya baru dan sebagainya oleh politisi yang berada diluar eksekutif dan legislatif.

Akal sehat saya berkata, politisi semacam ini merepresentasi politisi kolot dan miskin ide atau bisa jadi politisi yang berafiliasi dengan anak-anak mantan penguasa Orde Baru, Soeharto. n [email protected]

Editor : Moch Ilham

Tag :

BERITA TERBARU