Tantangan Pemajakan Ekonomi Digital Perusahaan Internasional

surabayapagi.com
Sri Mulyani.

SURABAYA PAGI, Jakarta – Indonesia mendorong tercapainya konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital di bawah koordinasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

Saat berpidato di pertemuan tingkat kepala negara G20 di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo juga menyerukan pentingnya reformasi perpajakan internasional yang lebih adil.

Baca juga: DPR: Reputasi Bea Cukai, Terdegradasi

Hal ini dinilai penting guna meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi untuk mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Penerapan pajak digital secara menyeluruh, diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi persaingan usaha.

Jika bicara tentang perusahaan multinasional terutama terkait aspek pajak, Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji menyatakan, tantangan utamanya adalah pengopreasian yang secara internasional.

"Ketika beroperasi secara internasional, yang bisa atau ada kemungkinan bahwa mereka memanfaatkan perbedaan sistem pajak antara negara. Dimana kita tahu bahwa kalau kita bicara di seluruh negara di dunia ini memang ada negara- negara yang memiliki skema provincial taxes rezim pastinya seperti itu. Jadi disitu bisa saja tarifnya lebih rendah atau juga skema- skema seperti juga insentif atau juga insentif yang sebenernya menarik artifisial provit," kata Bawono Kristiaji dalam acara diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9), Senin (15/11/2021).

Baca juga: Realisasi Pembiayaan Utang 3 Bulan ini, Turun 53,6%

Bawono menambahkan, jika bicara secara detail mengenai perusahaan multinasional yang berbasis digital, lebih spesifiknya adalah pertama bagaimana memastikan hak pemajakan dari negara sumber.

"Artinya adalah bahwa ketika kita bicara tentang perusahaan digital, ini adalah perusahaan yang bisa saja memperoleh suatu penghasilan dari yurisdiksi tertentu tanpa dia harus mendirikan suatu BUT (Bentuk Usaha Tetap). Dimana kalau kita bicara tentang BUT singkatnya ini adalah untuk memastikan hak pemajakan dari negara tersebut," ujar dia.

Baca juga: Pendapatan Pajak Tembus Rp27,26 Triliun, Jatim Masih Jadi Kekuatan Ekonomi Kedua Nasional

Bukan itu saja, kedua adalah ketika suatu perusahaan digital telah masuk dan terdaftar atau mendirikan BUT disini ada persoalan mengenai alokasi labanya seperti apa.

"Jadi atas penghasilan yang manakah nantinya laba perusahaan digital tersebut bisa dipajaki di suatu yurisdiksi," papar dia.jk

Editor : Redaksi

Ekonomi dan Bisnis
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru