Pemilik Eigendom Verponding, Masuki Lahan Tanah Ber-SHM, Langgar Hukum

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 03 Nov 2020 21:42 WIB

Pemilik Eigendom Verponding, Masuki Lahan Tanah Ber-SHM, Langgar Hukum

i

Sugijanto (kiri) Agus Sekarmadji (kanan)

 

 

Baca Juga: Catatan Akhir Tahun Bidang Hukum Pertanahan

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya -  SHM (Surat Hak Milik) Lebih Sah dibanding Eigendom. Secara hukum Kepemilikan SHM  lebih kuat dari Eigendom Verponding. Mengingat bukti kepemilikan tanah di era kolonial Belanda  tidak bisa semena-mena serobot tanah yang sudah memiliki sertifikat SHM.

Dasar peraturan antara lahan yang sudah ber-SHM dan masih Eigendom Verponding kini sudah berbeda. SHM memiliki dasar peraturan di UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Sedangkan Eigendom Verponding, berlaku berdasarkan peraturan yang dimuat di KUH Perdata Barat.

Demikian dinyatakan Praktisi Hukum Agraria, Sugijanto, S.H, M.H, MKn dan pakar hukum Agraria dan Pertanahan FH Unair, Dr. Agus Sekarmadji SH, MHum. Keduanya dihubungi tim wartawan Surabaya Pagi, terkait peristiwa penyerobotan laham ber-SHM milik PW Affandi di Gresik oleh orang-orang sangar suruhan PT Kohir Mustika Berkah yang mengklaim punya eigendom verponding (baca harian Surabaya Pagi, edisi Selasa (3/11/2020) kemarin berjudul “Tanah PW Affandi di Gresik, Diduga Diserobot PT Kohir”). Keduanya diwawancarai oleh Tim Surabaya Pagi di salah satu kafe di Surabaya dan kediaman Dr. Agus Sekarmadji.

Advokat Sugijanto, S.H, M.H, MKn mengatakan, definisi SHM adalah Hak Milik dan merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang dan dapat diwariskan. Sedang Eigendom Verponding adalah hak milik mutlak. Tetapi dengan lahirnya UU Nomor 5 tahun 1960, Eigendom Verponding telah dihapus oleh UUPA.

Menurut mantan pejabat BPN Jatim, tidak eksisnya Eigendom Verponding sampai kini masih tidak banyak diketahui oleh masyarakat, khususnya pemilik SHM dan Eigendom Verponding. Hal ini tentu menjadi faktor munculnya "Penyerobotan", seperti kasus tanah milik PW Affandi di Gresik.

Praktisi Hukum yang ahli dibidang pertanahan/agraria tersebut memberikan himbauan bagi pemegang SHM agar tetap tenang dalam menangani kasus semacam ini.  ”Jika tanah sudah menjadi hak milik atau SHM, tidak boleh diserobot dengan mendalilkan bahwa penyerobot memiliki Eigendom Verponding," tambahnya.

Karena Eigendom Verponding, tambah Sugijanto, telah dihapus oleh UUPA dan tidak lagi berlaku. "Pada tahun 1960, seseorang yg punya Eigendom Verponding diberikan waktu selama 6 (enam) bulan untuk melapor pada pemerintah. Jika tidak memenuhi prosedur, maka pemilik Eigendom Verponding sudah tidak berlaku, dan ini berlaku efektif mulai tahun 1980," ujarnya dalam membeberkan sejarah eigendom pasca lahirnya UUPA tahun 1960.

Sugijanto, menghimbau pihak kepolisian agar secara tegas membela kepentingan orang yang memiliki SHM. Tetapi perlu diketahui, bahwa Eigendom Verponding masih diperhatikan kepentingannya apabila diatas tanah bekas Eigendom Verponding masih terdapat bangunan milik pemegang hak tersebut,  seperti bangunan tua atau rumah tua, dsb.

Baca Juga: Ketua RW Kalijudan, Campuri Lahan Hotel Dafam, Diprotes Kantor Hukum

"Pada KUH Perdata pasal 571, pemegang Eigendom Verponding adalah termasuk pemilik segala sesuatu yg melekat diatas tanahnya. Jadi di era sekarang, pemilik bangunan Eigendom Verponding hanya dapat mengklaim bangunannya, tetapi tidak untuk tanah," pungkasnya.

 

Eigendom Verponding Sudah Dikonversi

Terpisah, pakar hukum Agraria dan Pertanahan FH Unair, Agus Sekarmadji SH, MHum, menjelaskan Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah bukti kepemilikan yang sah. Pemilik Eigendom Verponding dinilai melanggar hukum jika tetap melakukan penyerobotan tanah.

Agus menceritakan, pada masa penjajahan, ada tanah yang tunduk pada hukum adat, ada juga tanah yang tunduk pada hukum barat. Tanah yang tunduk pada hukum barat dan sudah didata oleh hukum kolonial itu diberikan beberapa hak, salah satunya adalah hak Eigendom.

Baca Juga: Allan Tjiptarahardja, Diduga Bobol BNI Rp 25 Miliar

Berbeda halnya dengan tanah yang tunduk pada hukum barat. Pemilik tanah yang tunduk pada hukum adat tetap didaftar namun tidak diberikan bukti hak atas tanah yang memberikan kepastian hukum, melainkan didaftar untuk ditarik pajak.

Beberapa tahun setelah Indonesia mencapai predikat merdeka, tepatnya pada tahun 1960, keluarlah UUPA (Undang-Undang Pokok Agaria) untuk mengatur konversi tanah. "UUPA mengatur konversi tanah yang tunduk pada hukum adat maupun hukum barat agar sesuai dengan hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA," jelas Dr. Agus Sekarmadji, SH, M.Hum., saat di wawancarai oleh Surabaya Pagi di kediamannya, Selasa (3/11/2020).

Pakar Agraria tersebut menjelaskan Ada beberapa macam hak atas tanah yang ada dalam UUPA, antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, yang masing masing  hak tersebut akan diterbitkan Sertifikat sebagai bukti hak. "Hak-hak ini adalah bukti hak kepemilikan yang sah," tambahnya.

Pengajar Hukum Pertanahan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu juga menjelaskan, bahwa pada tahun 1960 setelah lahirnya UUPA, maka pemegang Hak Eigendom harus hadir di kantor pendaftaran tanah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk memastikan mengenai kewarganegaraannya. ”Nah, Apabila pemegangnya WNI, maka hak Eigendomnya akan dikonversi menjadi hak milik. Namun jika bukan WNI, maka akan dikonversi menjadi Hak guna bangunan (HGB), dan paling lama 20 tahun. Sehingga akan berakhir tahun 1980. Setelah tahun 1980 status tanahnya berubah menjadi Tanah Negara," ujarnya.

Dengan adanya ketentuan seperti itu, maka dirasa sulit bagi orang yang klaim dirinya memiliki hak Eigendom untuk menyerobot pemilik SHM. "Jika penyerobotan itu tetap dilakukan, maka pelaku akan dianggap melanggar UU nomer 51/PRP/1960 tentang Larangan Penguasaan Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya," pungkas Agus Sekarmadji. n mbi/cr5/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU