Perundungan Calon Dokter Spesialis, Kisah Feodalisme

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 23 Jul 2023 20:27 WIB

Perundungan Calon Dokter Spesialis, Kisah Feodalisme

i

H. Raditya M. Khadaffi

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Usai UU Kesehatan disahkan, praktik bullying atau perundungan di lingkungan program pendidikan dokter spesialis (PPDS), mencuat di publik.

Baik Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin maupun Ketua Umum PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Dr Moh Adib Khumaidi, SpOT, mengakui praktik perundungan dari dokter senior ke juniornya.

Baca Juga: Pak Jokowi, Ngono Yo Ngono, Ning Ojo Ngono

Menkes menyebut, praktik perundungan ini malah sudah terjadi selama puluhan tahun. Subhanallah. Sudah demikian gawatkah institusi pendidikan kedokteran spesialis di Indonesia.?

Beberapa dokter sekolah spesialis yang saya hubungi mengatakan masa belajarnya campuran bidang akademik dan tugas pelayanan kesehatan.

Dan ini membutuhkan waktu lama 6-12 tahun. Praktiknya untuk menjadi spesialis, seorang dokter terlebih dahulu menyelesaikan dokter umum dan internship yang lamanya 6-7 tahun. Setelah itu, bersekolah spesialis selama 3-6 tahun. Jadi, total sekolahnya minimal 6-12 tahun.

Juga biaya sekolah spesialis mahal. Konon biaya sekolah selama 3-6 tahun bisa mencapai ratusan juta, atau bahkan miliaran.

Praktiknya ada program sekolah spesialis yang terkontaminasi oleh kultur perundungan dan sejenisnya. Dokter yang bersekolah kadang disuruh melakukan hal-hal yang tidak relevan dengan iklim pendidikan. Acapkali sebagian dokter bekerja melebihi jam kerja yang layak dan manusiawi. Mereka melakukan jaga malam penuh dan besoknya harus lanjut kerja hingga siang hari. Ironisnya, dokter yang bersekolah itu tidak memperoleh gaji atau insentif. Bertahun-tahun dokter itu bekerja di rumah sakit melayani pasien tanpa dibayar. Alasannya, status mereka bersekolah dan tidak perlu dibayar. Sementara itu, di luar negeri, dokter yang sekolah spesialis telah mendapat bayaran yang layak. Jam kerjanya pun diatur sesuai dengan jam kerja staf lain.

Mengapa puluhan tahun iklim lingkungan PPDS dilanda kultur negatif dan perundungan, rektor, dekan, dan ketua program studi tidak bisa meredam dan menghapusnya.?

Mencermati praktik perundungan, tak bisa dibantah pendidikan kedokteran di Indonesia masih sangat feodalis dan menindas .

Masih adanya praktik feodalisme, penindasan, stratifikasi atau semacam kasta, dokter umum misalnya sampai saat ini masih dianggap sebagai kasta terendah.

Sementara dokter spesialis dan subspesialis, dianggap memiliki kasta lebih tinggi.

Ternyata sejumlah dokter muda yang mengaku sulit mendapat rekomendasi dari dokter senior untuk mengambil spesialis mengadu ke Menteri Kesehatan Budi Gunawan.

Dokter junior menganggap senioritas telah menjadi salah satu “trademark” praktik feodalisme.

Sebagai pasien dokter spesialis, saya baru tahu pengetahuan dokter spesialis dengan ketrampilan dan didikan kultur feodalisme, bisa bersikap yang profesional? Juga sanggup memecahkan masalah penyakit di masyarakat secara ilmiah.

Ini karena, PPDS merupakan program pendidikan untuk menyiapkan dokter umum menjadi dokter spesialis di bidang tertentu,bukan semata akademik tingkat S2.

Turun tangannya Menkes, ada angin segar dari pemerintah mengurai tentang feodalisme dan senioritas yang selama ini tumbuh subur di dunia kedokteran dan pendidikan kedokteran Indonesia.

 

***

 

Baca Juga: Jokowi vs Mega, Prabowo vs Mega = Kekuasaan

Ketua Umum IDI pusat Dr Adib memandang masalah bullying itu bukanlah problem tradisi. "Kalau kita bicara tradisi, tidak ada di sumpah dokter, tidak ada di dalam kode etik kedokteran yang membenarkan bullying. Dan ini kami perlu tegaskan," ucap Dr Adib dalam konferensi pers, Sabtu (22/7/2023).

Menurut Dr Adib, IDI akan menindak tegas oknum pelaku bullying yang dapat memberikan kerugian mental, fisik, dan materil pada junior.

"Jika ada hal-hal yang berkaitan dengan bullying, yang kita tindak adalah oknum-oknumnya. Dan oknum-oknum inilah yang kami perlu tegaskan tidak ada proses kami untuk melindunginya, karena kalau sudah berkaitan pelanggaran etik, permasalahan kriminal, kami akan tegas menindak apabila ada oknum-oknum yang melakukan," ungkap Adib.

Jika ada dokter junior yang mengalami masalah bullying, dr Adib mengatakan IDI siap menerima laporan dan akan menindaklanjuti kasusnya. Terlebih apabila kasus benar-benar melanggar etik dan berpotensi kriminal.

Sebelum Ketua Umum IDI pusat Dr Adib bereaksi, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin sudah buka-bukaan terkait praktik perundungan yang terjadi di dunia kedokteran.

Bahkan Menkes mengatakan praktik bullying ini sudah terjadi selama puluhan tahun lamanya.

"Praktik perundungan ini baik untuk dokter umum, internship, maupun pendidikan dokter spesialis itu sudah terjadi berulang kali dan ini tidak hanya menyebabkan kerugian mental, tapi fisik dan juga finansial pada peserta didik," ucap Menkes Budi dalam konferensi pers, Kamis (20/7/2023).

Menkes Budi bahkan menilai kondisi bullying di dunia pendidikan kedokteran spesialis seakan sudah menjadi tradisi.

Ditemukan banyak junior yang harus menjadi 'asisten pribadi' dari oknum senior nakal yang melakukan perundungan.

Contoh yang paling saya sering terdengar peserta didik dijadikan asisten pribadi bisa disuruh bayarin laundry, anterin laundry, nganterin anak. Subhanallah.

Baca Juga: Cari SIM Dibawah 17 Tahun, Benchmark Gibran

Kini juga ada Fatwa MKEK No.044 tahun 2022 tentang perundungan di lingkungan profesi kedokteran. Fatwa MKEK mencantumkan kategori bullying yakni tindakan perundungan yang meliputi perbuatan memaksa, menyakiti, mengintimidasi baik secara langsung atau melalui media daring. Termasuk penugasan paksa di luar waktu kerja atau pendidikan.

Nah, bagaimana sistem pendidikan dokter spesialis setelah UU Kesehatan disahkan?

UU Kesehatan telah menetapkan rumah sakit dapat menjadi fasilitas pendidikan dalam mencetak dokter spesialis dan subspesialis. Rumah sakit pendidikan juga diatur menjadi lokasi seorang sarjana kedokteran untuk mendapatkan pendidikan profesi.

Dalam Pasal 187 Ayat (2) UU Kesehatan menjelaskan rumah sakit pendidikan memiliki fungsi tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu. Dan rumah sakit pendidikan dapat menjadi lokasi pendidikan tenaga kesehatan.

Menurut Pasal 187 Ayat (3) UU Kesehatan, Rumah sakit pendidikan dapat mencetak psikolog klinis, perawat, bidan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, terapis fisik, tenaga teknis medis, teknisi biomedika, dan tenaga kesehatan tradisional.

Dan Rumah sakit pendidikan bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan program akademik, vokasi, profesi, termasuk spesialis/subspesialis.

Semoga dengan hadirnya UU Kesehatan, elemen negatif dalam pendidikan dokter spesialis tidak ditambal sulam satu demi satu "tradisi feodalisme" tapi berkomitmen mengubah sistem pendidikan dokter spesialis yang lebih baik.

Sebagai warga yang mewakili pasien, semoga kelangkaan dokter spesialis tertentu tidak terjadi.

Mengingat dokter spesialis adalah dokter yang telah mempelajari bagian tubuh tertentu termasuk penyakit yang ada di dalamnya. ([email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU