Banjir Surabaya, Bukti Buruknya Mitigasi Bencana

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 09 Jan 2022 20:41 WIB

Banjir Surabaya, Bukti Buruknya Mitigasi Bencana

i

Banjir yang terjadi di jalan Gubeng Raya pada 7 Januari 2022 lalu.

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Banjir yang melanda sejumlah jalan protokol Surabaya pada 7 Januari lalu, menjadi bukti gagalnya pemerintah dalam memitigasi resiko bencana banjir.

Beberapa ruas jalan protokol yang terendam banjir hingga berujung pada pemberlakukan penutupan jalur adalah Jalan Kertajaya, Dharmawangsa dan Panglima Sudirman.

Baca Juga: Jelang Lebaran, Disnakertrans Jatim Buka 54 Posko Pengaduan THR

Wali kota Surabaya Eri Cahyadi yang ikut turun lapangan memantau banjir di jalan Dharmawangsa pun membeberkan musabab terjadinya luapan air tersebut. Salah satunya adalah tidak dimanfaatkannya pompa air pada saluran Kalidami sehingga membuat arus air akhirnya  tertampung dan meluap ke jalan.

"Dharmawangsa itu yang di Kalidami dulu ada pompa, tapi kita mengandalkan gravitasi. Gravitasi kalau dia (kontur tanah) turun, aliran air banter (cepat). Tapi kalau landai, maka kita butuh pompa. Berarti ya harus dipasang pompa," kata Eri Cahyadi usai meninjau lokasi di Dharmawangsa

Dari penelusuran Surabaya Pagi, pemkot Surabaya memiliki rumah pompa boezem Kalidami yang didirikan pada tahun 2003 dengan tujuan untuk mengatasi genangan aliran air dan mencegah banjir di wilayah-wilayah yang masuk dalam pelayanan rumah pompa tersebut.

Beberapa diantaranya adalah daerah Puncang, Pasar Puncang, Kertajaya, jalan Nias, jalan Srikana dan ring road ITS. Sementara data dari PU Cipta Karya tentang profil kota Surabaya, Boezem Kalidami merupakan terminal aliran air dari 3 penjuru saluran yakni di utara untuk saluran Bhaskarasari, Mulyosari, Dharmahusada, Selatan untuk Kejawan Keputih, ITS, Gebang dan Barat dari Kalidami, Kertajaya, Manyar Sabrangan.

Di era Walikota Tri Rismaharini, rumah pompa Kalidami ini selalu dimanfaatkan manakala musim hujan tiba. Ini terjadi lantaran, rumah pompa kalidami memiliki luas 2,7 ha dan volume sebesar 54.000 m3. Bahkan di tahun 2019, Bu Risma sempat menambah setiap rumah pompa di Surabaya sebanyak 5 m3.

Hingga saat ini, Surabaya Pagi belum mendapatkan data pasti terkait kapan rumah pompa Kalidami tidak dimanfaatkan atau hanya mengandalkan gravitasi.

Kendati begitu, salah satu peneliti Universitas Airlangga Surabaya yang berfokus pada masalah sejaran banjir di kota Pahlawan, Sarkawi B. Husein menjelaskan, tahun 1952, Surabaya diterjang bencana banjir yang cukup besar akibat meluapnya Kali Lamong dengan ketinggian 1,5 meter. Bahkan lebih dari 10 ribu warga yang saat itu menjadi korban.

Khusus untuk jalan Diponegoro, Dharmahusada dan Dharmawangsa, terjadi pada tahun 1955. Ketinggian banjir saat itu mencapai 1 meter lebih.

"Lagi-lagi selain curah hujan tinggi, rumah pompa air di Darmo saat itu rusak,  ditambahlagi sungai Brantas meluap juga pada saat itu akibat sedimentasi. Terus buruknya drainase juga semakin memperparah," kata Sarkawi kepada Surabaya Pagi.

Selain faktor rumah pompa yang tidak berfungsi, faktor lainnya adalah pendangkalan sungai baik secara alami maupun akibat ulah masyarakat yang membuang sampah sembarangan di sungai.

Sungai Kalidami misalnya. Desember 1971 kata Sarkawi, terjadi banjir yang cukup besar di wilayah Wonokromo, Ngagel dan Darmo III.

"Itu akibat sedimentasi di (sungai) Kalidami. Jadi peristiwa terulang kembali. Ya walaupun kali ini sedikit berbeda," katanya.

Belajar dari sejarah masa lalu, sebetulnya pemkot Surabaya telah memiliki bekal yang cukup dalam memitigasi resiko terjadinya banjir. Perbaikan drainase, pemanfaatan rumah pompa dan pengerukan sungai wajib diperhatikan manakala musim hujan tiba.

"Apalagi sekarang BMKG selalu berikan warning. Warning dari BMKG itu bisa dijadikan bekal dalam mitigasi banjir," ucapnya.

Baca Juga: Mengatasnamakan Media Nasional, Warga Lamongan Diperas Wartawan Gadungan

Di samping itu, pengendalian berbasis masyarakat juga patut diperhitungkan dalam penanganan banjir.  Salah satu aspek yang perlu diperhatikan katanya, adalah aspek vulnerability atau kerentanan.

Bagi masyarakat yang memiliki finansial yang cukup, akan dengan sangat mudah memproteksi dirinya ketika banjir melanda. Namun bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, justru yang akhirnya menjadi korban akibat lemahnya mitigasi banjir yang dilakukan pemerintah.

"Untuk melindungi rumah mereka dari banjir, penduduk yang memiliki banyak uang pasti akan membongkar dan meninggikan lantai rumahnya atau beli mesin penyedot untuk menguras air dalam rumah. Nah sementara mereka yang tidak punya banyak dana, mau tidak mau ya terima nasib saja atau paling banter akan buat tanggul sederhana di depan pintu rumah. Nah ini yang perlu diperhatikan pemerintah," ucapnya.

"Karena itu, pemerintah perlu upaya pengendalian banjir berbasis management control, upaya pengendalian yang lebih memperhatikan aspek yang menjadi akar persoalan," tambahnya.

Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya Aning Rahmawati juga ikut mengkritik penanganan banjir yang dilakukan oleh pemkot dengan sistem drainase tidak berdasarkan kajian. Pemkot selama ini, masih menggunakan Surabaya Drainage Master Plan (SDMP), yang mana SDMP tersebut dinilai kurang tepat bila diterapkan karena adanya faktor anggaran.

Menurut Aning, seharusnya dalam penanganan banjir, pemkot menerapkan Sistem Drainase Jaringan Tersier (SDJT) dan Sistem Drainase Lingkungan Pemukiman (SDLP). Namun yang terjadi selama ini, baik SDLP maupun SDJT belum dibuat kajiannya oleh pemkot.

"SDLP ini mengkaji secara riil penanggulangan banjir di perumahan, perkampungan, sekaligus koneksinya dengan saluran kota. Inilah kunci kenapa banjir di lingkungan permukiman warga tidak makin kecil, tapi makin melebar," kata Aning.

Hal serupa juga sebetulnya sempat disinggung oleh Vinsensius Awey, anggota Komisi C DPRD Surabaya. Menurut Awey, salah satu faktor penyebab banjir di Surabaya adalah sistem drainase yang belum merata.

Baca Juga: Unesa Terima 4.733 Camaba Lewat Jalur SNBP 2024

"Pembangunan sistem drainase pun lebih kepada pemerataan sehingga dengan anggaran yang ada bisa dibagi ke seluruh area. Namun, banyak ditemukan pembangunan drainase yang tidak tuntas, tidak terintegrasi antara satu saluran ke saluran lain dari sisi elevasi dan volume penampungannya," kata Awey dilansir dari laporan Surabaya Pagi edisi Februari 2021.

Kendati begitu, prioritas pemkot Surabaya dalam menangani banjir terbilang cukup baik. Ini terlihat dari anggaran banjir yang digelontorkan pada tahun 2021.

Setidaknya di tahun 2021, Eri Cahyadi telah menganggarkan kurang lebih Rp 600 miliar untuk mengatasi persoalan banjir di ibu kota.

Anggaran ini bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya atau di masa Walikota Tri Rismaharini terpaut Rp 150 miliar. Di masa periode terakhir Bu Risma, alokasi anggaran untuk banjir adalah sebesar Rp 450 miliar.

Meski anggaran ditambah, data dari Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Pemkot Surabaya 2021-2026, menunjukan adanya kenaikan debit air dikala banjir.

Tahun 2019 misalnya, ketinggian banjir rerata 9,2 cm. Di tahun 2020 naik menjadi 10,92 cm. Sementara tahun 2021, dari perhitungan Surabaya Pagi dibeberapa titik naik menjadi 15 cm.

Tak hanya itu, luas area banjir di Surabaya pun terbilang stagnan selama 1 tahun terakhir. Tahun 2019 luas banjir di Surabaya mencapai 688,95 ha dan di tahun 2020 turun menjadi 462,64 ha. Sementara tahun 2021, berdasarkan pernyataan Eri Cahyadi pada akhir Desember 2021 lalu, luas area banjir masih sama yakni 462,64 ha.

Tahun 2022, diprediksi luas dan ketinggian banjir akan semakin meningkat. Mengingat, tahun 2020 dengan luas 688,95 ha, hanya terjadi di 32 titik. Sementara pada 7 Januari 2022 kemarin, setidaknya ada sekitar 40 titik banjir. sem

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU