Home / Catatan Tatang : Kilas Balik Politik Indonesia Akhir Tahun 2021 (2)

Bermodal Presidential Threshold 20%, Jokowi Mampu Lumpuhkan "Oposisi"

author surabayapagi.com

- Pewarta

Senin, 27 Des 2021 20:46 WIB

Bermodal Presidential Threshold 20%, Jokowi Mampu Lumpuhkan "Oposisi"

i

Dr. H. Tatang Istiawan

De Facto, Jokowi, dua kali dipilih sebagai presiden menggunakan Presidential Threshold 20% . Apakah pilpes 2024 mendatang, ambang batas pencalonan Presiden masih tetap seperti pilpres tahun 2014 dan 2019? Walahualam.

Defakto dan dejure, sistem presidential threshold sebesar 20% saat ini dinilai oleh DPD-RI dan sejumlah oposisi masih merupakan tembok yang menghalangi munculnya pemimpin-pemimpin baru di Tanah Air. Padahal, ada begitu banyak sosok yang memiliki kualitas kepemimpinan yang sangat baik. Benarkah Jokowi, presiden yang tak berkualitas? Apa benar Jokowi, dipilih oleh cukong politik dan cukong finansial?

Baca Juga: Soal Gibran Bisa Cawapres Bukan Prof Yusril, Diperdebatkan di MK

Ini pertanyaan menggelitik di kalangan elite politik kita saat ini. Makanya

presidential threshold 20% (PT 20%) diusik. PT 20% dianggap tak layak dipertahankan lagi. PT 20% dianggap sebagian elite politik menghambat tampilnya putra dan putri terbaik bangsa di panggung kepemimpinan nasional.

Padahal rakyat berhak mendapatkan banyak pilihan calon presiden dan wakil presiden.

Berpikir seperti ini, gagasan Ketua DPD -RI La Nyalla Matitti, agar PT menjadi 0% mesti diperhitungkan. Bisa jadi PT 0% layak diapresiasi. Tinggal bagaimana kita kemudian berdialektika dengan rezim yang sekarang berkuasa. Termasuk parpol parpol mapan kayak PDIP, dan Golkar. Juga disusul Gerindra dan NasDem. Pertanyaannya pantaskah parpol pendukung PT 20% dicap sebagai cukong politik yang tak mau ada pemimpin baru bukan dari kadernya?. Termasuk cukong financial yang sekarang merasa mapan dengan presiden seleksi PT 20%. Cukong financial ini berada dalam grup grup orang kaya yang secara organisatoris bisa mengklaim tak ikut berpolitik praktis.

Tentang fenomena cukong politik dan cukong financial, saya teringat pikiran Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikelnya yang diterbitkan dalam South East Asia Research tahun 2016 lalu.

Artikel berjudul Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Postclientelist Initiatives? menyebut sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan ke publik selama kampanye. Citra yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas partai.

“Hanya beberapa bulan menjalankan pemerintahan, presiden baru Indonesia, Jokowi, mulai mengecewakan pendukungnya yang berharap dia bisa meningkatkan kualitas demokrasi. Ini berkebalikan dengan janji kampanye tentang pemerintahan yang ‘bersih’ dan ‘profesional’ tanpa tukar guling.

Tentang ini Jokowi sepertinya dapat dibaca memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki dan mengindikasikan keputusannya justru dilandasi oleh partai pendukungnya," tulis Djani dan Fukuoka di bagian paling awal artikelya.

Di sisi lain, politik balas budi Jokowi bisa dipandang sebagai salah satu cara ampuh Jokowi memuluskan kekuasaannya.

Adalah Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute, yang mengambil contoh langkah Jokowi merangkul Prabowo. Bagi Ben, upaya itu adalah pengkhianatan kepada demokrasi. Dengan diambilnya Prabowo, otomatis Partai Gerindra akan mendukung pemerintahan Jokowi; lantas siapa bisa menjadi oposisi yang “seharusnya ada dalam sistem demokrasi di Indonesia saat Jokowi berkuasa?"

Ben mengingatkan: “Ketika dia memilih Prabowo [sebagai Menteri Pertahanan] artinya sudah selesai," kata salah satu pejabat kepada Bland seperti tertera dalam Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020). “Dia melakukan itu untuk melumpuhkan oposisi."

 

***

Benarkah oposisi saat kepimpinan Jokowi dalam dua periode gunakan PT 20%, telah lumpuh?

Secara riil, fakta ini tidak terbantahkan.

secara politik, dengan melemahnya peran oposisi dapat membuat demokrasi Indonesia mundur. Pengertian ini berjalan tegak lurus terhadap praktik demokrasi Indonesia pasca reformasi. Meski istilah oposisi tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia.

Wajar saat ini sejumlah menteri dari perwakilan partai politik di periode kedua pemerintahan Jokowi semakin mengukuhkan posisi 7 (tujuh) partai politik sebagai koalisi pemerintah. Apalagi partai koalisi Jokowi juga menguasai DPR dengan menempati 427 kursi parlemen, sedangkan partai oposisi hanya memiliki 148 kursi.

Sejarah mencatat dalam pemerintahan kedua, partai koalisi pemerintah terdiri dari PDIP sebanyak 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78 kursi, NasDem 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PPP 19 kursi. Menyusul PAN dangan 44 kursi. Lalu, partai yang tidak bergabung dengan pemerintah terdiri dari Demokrat sebanyak 54 kursi, dan PKS 50 kursi.

Dengan menguasai koalisi di pemerintahan dan DPR-RI, jalan cerita yang dipikirkan Ben Bland dan Yuki Fukuoka serta Luky Djani, menjadi nyata.

Baca Juga: Jokowi Dituding Lebihi Soeharto

Ini yang telah dimaknai lebih dalam oleh Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs.

Dalam risetnya yang berjudul "Oligarchy and Democracy in Indonesia" (2013), Winters, menyebut Jokowi adalah produk oligarki.

“Kemenangan luar biasa populer Jokowi atas gubernur petahana terjadi berkat dukungan dari kalangan mahasiswa hingga asosiasi ibu rumah tangga. Ini yang mendorongannya menuju kemenangan. Namun, bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkann Jokowi di hadapan para pemilih. Meski dia mendapat dukungan akar rumput, dia bertarung dalam pemilihan gubernur bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput," sebut Winters.

Terkait peran oligarki bermain di zona penguasa, juga pernah diajukan oleh sosiolog Jerman kelahiran Italia, Robert Michels.

Robert Michels dalam bukunya, Political Parties (1911), menyebut kekuasaan oleh elite terbatas (oligarki) adalah hukum besi yang tidak terelakkan dalam negara atau organisasi demokrasi. Ini ia sebut sebagai bagian keharusan taktis dan teknis”.

Ia mengambil contoh kasus Partai Demokratik Sosial Jerman.

Michels berargumen partai politik atau serikat buruh yang dibangun dengan cita dan cara demokrasi akhirnya bisa dikuasai ’elite pemimpin’ (oligarki) yang menguasai massa.

Akal sehat saya menyebut secara politis, Jokowi berhasil menang 2x menjadi presiden, karena partai politik dan kaum elite. Ini bisa tidak terlepas dari sistem PT 20%.

Oleh karena itu, hingga Jokowi bisa menjadi presiden dua periode seperti sekarang, menggambarkan Jokowi tidak bisa melawan kepentingan elite dan partai politik di pusaran cukong politik dan cukong finansial.

Tak keliru, koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut oligarki seperti sekarang ini hanya menguntungkan kelompok lingkaran penguasa. Gambarannya, para regulator di sekitar kekuasaan Jokowi, terdiri pelaku usaha yang, tentu saja, membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elitenya, bukan dari dan untuk masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama ini Jokowi citrakan dalam kampanye dan pidato retorikanya.

Bahkan aktivis Jatam mencatat, baik orang dekat Jokowi maupun pimpinan DPR, punya usaha yang berhubungan dengan tambang.

Baca Juga: Hotman Paris, Girang Sirekap tak Diperhitungkan KPU

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, misalnya, terkait dengan PT Bara Hanyu Kapuas dan PT Multi Harapan Utama. Sedang Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan PT Toba Sejahtra. Ketua DPR Puan Maharani, juga punya suami yang aktif di Odira Energy Karang Agung dan PT Rukun Raharja. Sementara Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjadi Komisaris PT Sinar Kumala Naga. Luar biasa cukong politik era Jokowi.

 

***

 

Catatan saya, dengan meningkatnya oligarki sampai sekarang, bisa menjadi salah satu fenomena paling menonjol di tengah perkembangan politik Indonesia beberapa tahun terakhir era Jokowi.

Saya merasa ngeri bahwa peningkatan oligarki sering disebut banyak lembaga dan pengamat politik Indonesia sebagai salah satu indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia. Benarkah? Kini muncul gugatan PT 0 % persen ke Mahkamah konstitusi (MK). Juga DPR-RI menjadi satu-satunya lembaga negara yang berinisiasi mengusulkan amandemen kelima UUD 1945. Saya mengkhawatirkan demokrasi era Jokowi sedang masuk rumah sakit MK, karena penyakit yang dirasakan sejumlah elite.

Salah satu penyakit politik yaitu oligarki terus meningkat dengan kian menguat. Terutama hadirnya koalisi politik gemuk fraksi-fraksi di DPR. Itu berupa koalisi besar pro-rezim; F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PKB, F-Gerindra, F-PPP, dan F-PAN. Dengan kekuatan di DPR-RI, saya catat, Jokowi dapat melakukan langkah politik apa pun. Sementara dua fraksi sisanya yaitu FPKS dan F-Partai Demokrat, hampir tak berdaya membendung langkah oligarki politik yang ada di lingkaran Jokowi.

Meningkatnya oligarki yang hampir tidak terbendung terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik puncak dan elite politik di lingkungan eksekutif dan legislatif. Mereka yang bisa disebut ”oligark” (oligarch) politik sering mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di dalam lingkaran mereka sendiri. Misal distribusi dan harga PCR.

Oligarki politik seperti proyek PCR, nyata tidak melibatkan warga yang diwakili masyarakat madani, asosiasi dan serikat profesi, ormas dan LSM.

Makin kentara dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No 30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009 tentang Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU Omnisbus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU 11/2020 Cipta Kerja. Perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oligarki eksekutif dan legislatif. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan pembentukan UU tersebut. Dalam gugatan masyarakat sipil terhadap berbagai UU tersebut, oligarki politik kadang didukung lembaga yudikatif (MK dan MA). Kita lihat bagaimana nasib gugatan PT 0% ke MK dan Amandemen kelima UUD 1945 sebelum pilpres 2024 mendatang. (bersambung)

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU