Catatan Akhir Tahun Bidang Hukum Pertanahan

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 19 Des 2021 19:58 WIB

Catatan Akhir Tahun Bidang Hukum Pertanahan

i

Agus Sekarmadji

Tidak lama lagi tahun 2021 akan meninggalkan kita. Banyak peraturan yang diundangkan di tahun 2021 sebagai pelaksanaan dari Undang Undang nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Keja (UUCK), antara lain di bidang hukum pertanahan. Yang perlu dikaji adalah apakah peraturan di bidang hukum pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari UUCK tersebut telah sesuai dengan Prinsip Hukum Pertanahan yang terdapat dalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan pelaksanaan dari Politik Hukum Agraria Nasional yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945. Untuk itu akan dikaji beberapa perubahan yang terjadi.

Pertama, adanya perubahan definisi dari konsep Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP 18 tahun 2011 Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi. Definisi dari konsep tersebut jelas bertentangan dengan UUPA. Dalam Pasal 4 UUPA  tanah  adalah permukaan bumi. Wewenang pemegang hak atas tanah adalah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi, air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Artinya apa yang diatur dalam PP 18 tahun 2021 mencampuradukkan antara konsep tanah dan konsep tubuh bumi, sehingga pemanfaatan tubuh bumi yang tidak terkait langsung dengan penggunaan  tanah (permukaan bumi) dimasukkan ke dalam wewenang pemegang hak atas tanah.  Hal ini berbeda dengan UUPA. Dalam UUPA  penggunaan tubuh bumi termasuk wewenang pemegang hak atas tanah sepanjang penggunaan tubuh bumi tersebut berhubungan langsung dengan penggunaan tanah, sedangkan penggunaan tubuh bumi yang tidak berhubungan langsung dengan penggunaan tanah diperlukan izin tersendiri karena bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara (Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945).  

Kedua, adanya pengaturan hak pengelolaan yang berasal dari tanah hak ulayat (Pasal 10 PP 18 Tahun 2021). Pengaturan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip yang ada dalam Hak Pengelolaan itu sendiri. Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sehingga hak pengelolaan tidak sama dengan hak atas tanah lainnya, karena merupakan Hak menguasai negara yang dilimpahkan sebagian kewenangannya. Sehingga pemegang hak pengelolaan mempunyai sebagian dari wewenang hak menguasai negara. Meminjam istilah dari Prof. Boedi Harsono, hak pengelolaan merupakan gempilah dari hak menguasai negara. Oleh karena itu seharusnya hak pengelolaan hanya dapat terjadi di atas tanah negara dan tidak dapat terjadi diatas tanah hak ulayat. Jika mau diberikan di lokasi yang masih berstatus hak ulayat maka harus dilakukan pelepasan terlebih dahulu terhadap hak ulayat tersebut. Dengan dilepaskannya hak ulayat tadi maka statusnya menjadi tanah negara, dan selanjutnya dapat diberikan Hak pengelolaan. Jadi dengan diberikannya hak pengelolaan di atas tanah negara tidak menyalahi prinsip yang ada dalam hak pengelolaan itu sendiri.

Ketiga, adanya ketentuan Pasal 21 PP 18 Tahun 2021 yang menyatakan Hak Guna Usaha dapat diberikan diatas tanah Hah Pengelolaan. Ketentuan tersebut bertentang dengan UUPA yang mengharuskan HGU hanya terjadi diatas tanah negara. Pengaturan HGU di atas tanah hak pengelolaan  secara prinsip dapat terjadi karena Hak Pengelolaan juga merupakan bentuk pelimpahan dari Hak Menguasai negara sepanjang penggunaan tanah hak pengelolaan  yang diatasnya akan diberikan HGU tersebut sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diperuntukkan untuk usaha pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Namun ketentuan ini menjadi masalah kerena UUPA mengharuskan HGU hanya terjadi diatas tanah negara. Sehingga ketentuan Pasal 21 PP 18 Tahun 2021 bertentangan dengan Pasal 28 UUPA, sehingga berlakulah  asas lex superiori derogat legi inferiori.

Keempat, adanya ketentuan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang berdiri di atas Hak Guna Bangunan (HGB) bagi orang Asing. Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2011 Satuan rumah susun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Unit unit tersebut dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Dengan demikian pemegang HMSRS selain berhak atas bagian yang dimiliki secara pribadi dan  terpisah juga berhak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang nilai haknya sebesar Nilai Perbandingan Proporsional (NPP). Jadi walaupun pemegang HMSRS  mempunyai hak atas tanah hanya sebesar NPP, namun itu tetap sebagai pemegang hak atas tanah. Sehingga pemegang HMSRS harus dapat menjadi subyek Hak atas tanah dimana rumah susun tersebut berdiri. Dalam ketentun mengenai subyek hak atas tanah  yang diatur dalam Pasal 36 UUPA maupun Pasal 34 PP 18 Tahun 2021 bahwa orang asing bukan subyek HGB. Sehingga ketentuan dalam Pasal 71 PP 18 Tahun 2021 yang mengatur Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang berdiri di atas Hak Guna Bangunan (HGB) bagi orang Asing adalah tidak tepat.

Kelima, terkait pengaturan mengenai bukti hak lama dalam pendaftaran tanah. Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) PP 18 Tahun 2021 disebutkan bahwa alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan Pendaftaran Tanah bekas hak barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendasarkan pada surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui 2 (dua) orang saksi dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana, yang menguraikan: a. Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan bukan tanah bekas milik adat; b. Tanah secara fisik dikuasai; c. Penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas Tanah; dan d. Penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.

Ketentuan Pasal 95 ayat (1) PP 18 Tahun 2021 tersebut pada prinsipnya sudah tepat karena  tanah bekas hak barat seharusnya sudah dikonversi  menjadi hak atas tanah yang telah ditentukan UUPA. Dan hak atas tanah bekas konversi hak barat sudah berakhir pada tahun 1980, kecuali yang dikonversi menjadi hak milik. Hanya saja menjadi tidak tepat dalam pengaturan Pasal 95 ayat (2) PP 18 Tahun 2021 mengenai pendaftaran tanahnya yang mendasarkan pada surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui 2 (dua) orang saksi.  Hal ini dikarenakan status tanahnya sudah menjadi tanah negara maka seharusnya untuk dapat didaftar atas nama seseorang maka harus ada Surat Keputusan (SK) Pemberian Hak kepada orang tersebut. Sehingga pendaftarannya didasarkan pada SK Pemberian Hak bukan pada penguasaan fisik. Aturan pendaftaran tanah yang didasarkan pada penguasaan fisik itu adalah pendaftaran tanah terhadap tanah yang sudah ada haknya yang alat bukti tertulisnya tidak ada atau tidak lengkap maka penguasaan fisik menjadi bukti pendaftaran tanah, yang selanjutnya dilakukan pengakuan hak. Sedangkan hak atas tanah yang berasal dari tanah negara pendaftarannya harus didasarkan pada pemberian hak bukan pengakuan hak  

Dari uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan masih ada beberapa pengaturan dibidang hukum pertanahan yang belum tepat yang harus menjadi perhatian ke depan. Dan yang perlu diperhatikan bahwa didalam membuat peraturan di bidang hukum pertanahan tidak boleh menyimpang dari prinsip prinsip yang ada dalam UUPA khususnya dalam pasal 1 sampai Pasal 15. Karena prinsip tersebut sampai saat ini masih relevan dan merupakan penjabaran dari Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945 yang merupakan Dasar Konstitusional Politik Hukum Agraria.

 

 

*Penulis adalah Doktor Hukum Pertanahan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU