Lockdown di Eropa, 100 Juta Orang Jatuh Miskin

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 19 Jan 2021 21:14 WIB

Lockdown di Eropa, 100 Juta Orang Jatuh Miskin

i

Situasi di Inggris nampak lengang, pasalnya pemerintah setempat memberlakukan lockdown imbas covid-19.

 

Menengok Lockdown dari Beberapa Negara

Baca Juga: Tentara Bayaran WNI di Ukraina, Bisa Propaganda Rusia

 

 

 

SURABAYAPAGI.COM, London - Jelang akhir tahun 2020 lalu, kasus Covid-19 kembali melonjak secara serentak di dunia, khususnya di Eropa. Akibatnya, sejumlah negara di benua biru ini kembali memberlakukan lockdown. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan kasus virus corona di kawasan Eropa telah melampaui 10 juta kasus sejak awal pandemi.

Berdasarkan penelusuran tim litbang Surabaya Pagi, berikut ini sejumlah pembatasan yang dilakukan di negara-negara Eropa. Diantaranya, Perancis. Pada 30 Oktober 2020, Perancis melakukan lockdown nasional kedua. Dengan adanya lockdown nasional kedua ini, seseorang hanya boleh meninggalkan rumah untuk pergi bekerja, untuk membeli barang-barang penting, mencari bantuan medis, serta berolahraga selama satu jam dalam sehari.

Dilansir BBC, adanya peraturan ini maka mereka yang kedapatan berada di luar rumah harus membawa pernyataan tertulis yang membenarkan tindakannya.

Kemudian, Jerman. Negara yang dipimpin kanselir Angela Merkel, mulai 2 November 2020, kembali memberlakukan pembatasan di seluruh negeri mulai dari bioskop teater, gym, kolam renang, dan sauna.

Restoran dan bar dibolehkan buka, namun hanya untuk melayani makanan yang dibawa pulang.

Kontak sosial dibatasi hanya untuk dua keluarga, maksimal 10 orang. Acara besar dibatalkan dan tak ada keramaian di pertandingan olahraga.

Kemudian, Italia, memberlakukan pembatasan selama satu bulan dimulai 26 Oktober 2020. Aturan ini akan meminta semua bar dan restoran di seluruh negeri tutup pukul 18.00. Gym, kolam renang, teater dan bioskop harus tutup, namun museum boleh dibuka.

Pertemuan untuk pernikahan, pembaptisan, dan pemakaman dilarang.

Selanjutnya, Belanda, negara kerajaan dan penjajah Indonesia ini memberlakukan penguncian selama empat minggu, mulai 14 Oktober 2020. Dengan adanya pembatasan ini semua bar, restoran, dan kedai kopi hanya dapat menyajikan makanan untuk dibawa pulang.

Penjualan alkohol di toko-toko dan restoran akan dilarang setelah pukul 20.00 ke atas. Seluruh toko dan supermarket diharuskan tutup pukul 20.00 di seluruh negeri.

Orang-orang disarankan untuk berada di rumah, dan sebisa mungkin bekerja dari rumah. Dab terbaru, demo menentang lockdown berakhir ricuh di negara ini.

Kemudian, Inggris, dimana Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan lockdown nasional jilid II pada Sabtu (31/10/2020).

Dengan adanya lockdown kedua ini pub, restoran, gym, dan toko non-esensial harus tutup selama empat minggu.Tidak seperti lockdown sebelumnya, kali ini sekolah, perguruan tinggi, dan universitas tetap buka. Selain negara di atas, Turki, Ceko, Austria dan Irlandia juga memberlakukan kebijakan serupa.

 

Ekonomi Terpukul

Akibat lockdown, pemulihan ekonomi di kuartal IV-2020 berantakan. Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III-2020 zona euro tumbuh 12,6% quarter-to-quarter (QtQ), dari kontraksi (tumbuh negatif) 11,8% QtQ, dan 3,7% QtQ di dua kuartal sebelumnya.

Baca Juga: UNESA Gandeng Universitas Islam Madinah Perkuat Mutu Pendidikan dan Jaringan Internasional

PDB yang masih berkontraksi secara tahunan, baik di zona euro maupun Inggris, menunjukkan perekonomian Eropa masih jauh dari kata pulih, baru bangkit dari kemerosotan saja.

Bank Dunia sendiri telah secara langsung memperingatkan bahwa dampak Covid-19 pada ekonomi bisa lebih parah. Dampak itu termasuk mendorong sebanyak 100 juta orang kembali ke dalam kemiskinan ekstrem.

"Angka itu bisa lebih tinggi jika pandemi memburuk atau berlarut-larut, yang mungkin terjadi." kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam sebuah wawancara dengan AFP, kemarin.

Lembaga keuangan yang berbasis di Washington itu sebelumnya memperkirakan hanya ada sekitar 60 juta orang yang akan jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem akibat pandemi.

Langkah-langkah untuk menghentikan penyebaran virus corona telah memperlambat ekonomi Eropa dengan kekuatan yang penggunaan energi batubara turun hampir 40 persen, dan konsumsi minyak sebesar sepertiga.

Secara global, penggunaan minyak telah menurun dengan jumlah yang sama, dengan penurunan konsumsi batubara bervariasi berdasarkan wilayah. Sebuah anugerah yang tidak disengaja dari pabrik-pabrik yang tutup dan jalan-jalan yang kosong membuat udara lebih nyaman.

Tingkat nitrogen dioksida (NO2) dan polusi partikel kecil yang dikenal sebagai PM2.5 - keduanya produk sampingan beracun yang membakar batu bara, minyak dan gas - masing-masing turun 37 dan 10 persen, menurut temuan tersebut.

"Dampaknya sama atau lebih besar di banyak bagian lain dunia," kata pemimpin penulis Lauri Myllyvirta, analis senior di Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), kepada AFP.

 

Mental Terganggu

Baca Juga: Pesawat Japan Airlines Tabrak Pesawat, 400 Penumpang Selamat

Dari sisi kesehatan, kebijakan lockdown juga berdampak seriu. Para ahli memperingatkan bahwa sebagian kecil orang bisa mengalami masalah kesehatan mental yang berkepanjangan, lebih lama dari pandemi itu sendiri.

Dari makan di restoran bersama pasangan dan kerabatnya hingga menghadiri klub buku bersama teman-teman, kehidupan sosial Susan Kemp sebelum Covid-19 cukup aktif.

Namun sejak April 2020, dia hanya lima kali meninggalkan apartemennya di dekat Stockholm, karena merasakan kecemasan sosial dan perilaku obsesif terkait kuman.

"Sepertinya stres tambahan ini sudah kelewat batas, lebih dari apa yang bisa saya toleransi," kata Kemp, seorang copywriter dan mahasiswa paruh waktu berusia tiga puluhan.

Dia menjadi ketakutan saat naik transportasi umum, waspada dengan kebersihan alat makan, dan merasa tak nyaman ketika melihat gambar sel virus corona.

"Gejala utamanya adalah saya mulai menangis. Saya merasa seperti akan mati, dan kemudian saya menangis sampai tubuh dan paru-paru saya terasa sakit setelahnya," kata dia.

Banyak orang menjadi sedikit lebih cemas selama Covid-19. Namun pengalaman Kemp menunjukkan bahwa untuk sebagian orang, pandemi dapat memicu atau memperburuk masalah kesehatan mental yang jauh lebih serius.

Steven Taylor, penulis The Psychology of Pandemics, dan profesor psikiatri di University of British Columbia, berpendapat bahwa "untuk 10 hingga 15% minoritas yang malang, hidup tidak akan kembali normal" karena dampak pandemi pada kesejahteraan mental mereka.

Australia's Black Dog Institure, sebuah organisasi penelitian kesehatan mental independen terkemuka, juga menyuarakan keprihatinan tentang "banyaknya minoritas yang akan terpengaruh oleh kecemasan jangka panjang".

Di Inggris, kelompok spesialis kesehatan masyarakat memperingatkan dalam British Medical Journal bahwa "dampak pandemi terhadap kesehatan mental kemungkinan akan bertahan lebih lama daripada dampak kesehatan fisik". jk/rtr/eri/bbc/cr2/ril

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU