Penyelesaian Pasar Turi, Bukan Hukum

author surabayapagi.com

- Pewarta

Minggu, 20 Des 2020 21:51 WIB

Penyelesaian Pasar Turi, Bukan Hukum

i

Suasana Pasar Turi Surabaya hingga Minggu (20/12/2020) terlihat tak terurus baik. Sp/Arlana

 

Pandangan Praktisi Hukum Ketua Peradi Haryanto, I Wayan Tatib dan Oemar Ishananto serta Pakar Ekonomi Dr. Tjuk Sukiadi, Tentang “Mangkraknya” Pasar Turi Baru Selama 10 tahun

Baca Juga: DJP Jatim 2 Gandeng Media untuk Tingkatkan Pencapaian Target Pajak

 

 

SURABAYAPAGI.COM, Surabaya - Polemik Pasar Turi, selama 10 tahun sejak tahun 2010 hingga akhir tahun 2020, masih belum menunjukkan titik temu. Bahkan persoalan antara pengembang Pasar Turi PT Gala Bumi Perkasa dengan Pemerintah Kota Surabaya masih belum memberikan titik terang bagi para pedagang lama dan pedagang pemilik stand.

Untuk itu, Surabaya Pagi meminta saran dan pendapat dari beberapa praktisi hukum dan pakar ekonomi di Surabaya, agar Pasar Turi yang saat ini masih menjadi Pasar Turu, bisa hidup kembali. Diantaranya, Ketua DPC Peradi Surabaya Haryanto, SH., MH, Advokat senior Oemar Ishananto SH, praktisi hukum yang juga pernah sebagai tim pengacara para pedagang Pasar Turi I Wayan Tatib Sulaksana, SH., MH. Selain juga pakar ekonomi Krismi Budi Sienatra selaku Wakil Kepala Program Studi International Business Management Universitas Ciputra Surabaya, pakar Ekonomi dari Unair Dr. Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim Said Utomo, yang dihubungi tim Surabaya Pagi secara terpisah Sabtu (19/12/2020) dan Minggu (20/12/2020).

Ketua Peradi Surabaya Haryanto melihat, Pemerintah Kota Surabaya dan pengusaha belum memiliki itikad baik untuk menyelesaikan seluruh persoalan di Pasar Turi. Padahal hal tersebut harus segera dilakukan agar tidak menyiksa pedagang.

"Permasalahan Pemkot dengan pengembang harus selesai dulu dan Pemkot tahu apa yang diinginkan oleh pengembang. Saya kira kalau para pengusaha itu diajak ngomong bisa dikurangi minusnya apa," ujar Haryanto kepada Surabaya Pagi, pada Minggu (20/12/20).

Haryanto mengatakan bahwa sebaiknya mengesampingkan persoalan hukum, sebab bila dilanjutkan ke ranah hukum, maka para pedagang harus kembali menunggu dan bisa terjadi kerugian yang lebih besar kembali.

Bahkan, sebaiknya Pemerintah Kota Surabaya harus segera mengajak para pengusaha untuk berembuk menyelesaikan konflik tersebut.

"Kalau kita berbicara hukum lagi tidak akan selesai dan pedagang lagi akan di rugikan. Bila ingin cepat selesai adalah kebijakan, wisdom daripada Pemkot memanggil pengusahanya itu untuk diajak berembuk lagi, ini dulu Bu Risma tidak mau. Mudah-mudahan yang jadi ini nanti ada kebijakan baru, sehingga bisa menengahi konflik antara Pemkot dan pengusaha itu," jelasnya.

Lanjutnya, Pemerintah Kota Surabaya yang memiliki kepentingan dan kekuasaan bisa untuk menekan pengusaha. Haryanto menambahkan perlu adanya wisdom untuk menyelesaikan antara Pemerintah Kota Surabaya, pengusaha, dan para pembeli stan.

 

PAD Pemkot Hilang

"Apapun Pemkot punya kepentingan dan kekuasaan, saya kira bisa menekan pengusaha itu. Wisdom kebijakan Pemkot ini yang di tunggu untuk menyelesaikan Pasar Turi, pengembang, dan para pembeli stan. Sudah berapa PAD (Pendapatan Asli Daerah) Pemkot yang kehilangan dari Pasar Turi? Karena tidak beroprasinya Pasar Turi," terangnya.

Selama 10 tahun, Surabaya kehilangan PAD dalam jumlah yang besar, serta kehilangan kepercayaan masyarakat. Sebab Pasar Turi merupakan ikon sebagai pasar modern atau pasar tradisional untuk Indonesia Timur yang terbesar tersebut telah hilang.

"Pemkot merasa kehilangan, warga Surabaya juga, apalagi para pedagangnya," ungkapnya.

Disinggung mengenai hak dari para pedagang untuk melakukan gugatan, Haryanto justru berpendapat bahwa sebaiknya hal tersebut tidak dilakukan.

"Pedangan juga punya hak untuk menggugat, tapi ini tidak akan selesai. Nantinya ramai lagi, stuck (berhenti beroperasi) lagi. Maka masalah hukum kesampingkan dulu, diperlukan kebijakan dan itikad baik dari Pemkot dan pengusaha," harapnya.

 

Pasar Turi Ruwet

Senada dengan hal tersebut, I Wayan Titib Sulaksana mengungkapkan bahwa masih amat sangat banyak masalah hukum dan teknis bangunan yang kacau balau.

"Wis pokoke ruwet, karena memang sengaja diruwetkan oleh alm Henry J Gunawan pemilik PT Gala Bumi Perkasa, kontraktor, pengembang dan pengelola Pasar Turi. Ketiga pihak harus bertemu, duduk bareng, yaitu ledagang lama Pasar Turi korban pembakaran 2007, kemudian Pemkot Surabaya selaku pemilik tanah di mana bangunan gedung Pasar Turi berdiri, dan PT Gala Bumi Perkasa selaku, kontraktor, pengembang dan pengelola Pasar Turi untuk cari solusi terbaik kedepan. Serta harus menguntungkan para pedagang korban pembakaran 2007," jelasnya.

Tidak hanya itu, dia mengaku bahwa gugatan dari pada pedagang masih sedang disusun.

"Sedang kami susun, gugatan ganti rugi pedagang korban kebakaran Pasar Turi 2007 kepada pemilik atau ahli waris dan PT nya," ungkapnya.

Baca Juga: Dibangun Pemdes Mancilan Jombang, Kolam Renang Rp 500 Juta Mangkrak

Sementara itu, Oemar Ishananto meminta untuk membongkar terlebih dahulu benang kusutnya

"Pemiliknya, pemborongnya, perjanjian antara pemilik pemborong, status para pedagangnya. Banyak masalah yang harus diteliti terlebih dahulu," ungkapnya.

"Tanah mungkin milik Pemda. Pembangunan pasti ada perjanjian antara Pemda dengan pemborong, pasti ada BOT atau perjanjian lain. Klausula waktu dan tahap Penyelesaian maupun sanksi," imbuhnya.

Namun, Oemar Ishananto juga setuju bila para pedagang melakukan gugatan untuk mendapat ganti rugi atas kerugian mereka selama 10 tahun ini. "Pedagang yang menempati ada sejarah, ada dasar perjanjian, dan lain-lainnya. Baiknya dibawa ke Pengadilan atau alternatif penyelesaian sengketa di luar peradialan atau arbitrase agar terangkat ke permukaan permasalahannya," jelasnya.

 

Pemkot Tak Bisa Intevensi

Terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur, Said Utomo meminta perlu adanya data dari para pedagang yang miliki bimbingan hukum.

"Kita perlu punya data bahwa para pedagang itu punya hubungan hukum dengan siapa. Kalau dengan pengembang, maka bagaimana bentuk hubungan hukum yang tertuang dalam ikatan perjanjian jual belinya atau perjanjian sewa-menyewa. Itu semua perlu dipelajari dulu. Masing-masing pedagang tentu punya masalah yang berbeda-beda," tandasnya.

Sedangkan, dari kajien ekonomi, menurut, Krismi Budi Sienatra selaku Wakil Kepala Program Studi International Business Management Universitas Ciputra Surabaya, kondisi carut marut, secara ekonomi, Pemkot Surabaya juga tidak bisa melakukan intervensi. Dikarenakan polemik yang timbul karena antara pengembang sendiri yang tidak membebaskan kepada para pedagangnya.

"Bahkan harapannya Pemkot bisa melakukan intervensi. Tapi itu tidak bisa. Tidak hanya itu, ada Paslon nomor 2 berjanji akan memperbaiki dan mengambil alih dari Pemkot. Padahal, seharusnya, konflik awal karena dari internalnya sendiri harus diselesaikan. Baru dengan pedagang, dan dengan Pemkot. Jadi menurut saya, Pemkot sendiri tidak bisa mengambil alih," ungkap Krismi Budi Kepada Surabaya Pagi, Jumat (18/12/20).

Pasar Turi yang menjadi sepi, dikarenakan salah satunya ialah para pedangan memilih ada untuk berada di TPS (Tempat Penampungan Sementara). Krismi berpendapat bahwa dalam persepsi masyarakat, masyarakat sangat menyukai keramaian, sehingga ketika masyarakat membeli dan melihat banyak pedangan, mereka bisa mencari alternatif membeli barang.

"Sehingga para pembeli lari ke TPS. Harga di TPS juga lebih murah, para pedagang kalau masuk ke pasar Turi juga harga sewanya semakin naik dan biaya atribut yang lain," katanya.

Lanjutnya, Pemerintah Kota Surabaya akan kesulitan memindahkan para pedagang dari TPS, kecuali Pemerintah Kota Surabaya bisa memaksa untuk di bubarkan dan di paksa untuk masuk ke pasar Turi yang baru.

Baca Juga: Pemkot Surabaya Rencana Tambah 2 Rumah Anak Prestasi

"Hal itu juga tidak mungkin karena bukan kewenangan Pemkot. Kecuali kalau Pemkot berani mengakuisisi dari kepemilikan yang lama. Tapi mengakuisisi juga membutuhkan dana anggaran yang cukup, mungkin bisa mencapai triliun," jelasnya.

Dari evaluasi bangunan, dari potensialnya, para pedangnya, maka kemungkinan di akuisisi bisa lebih dari 1 triliun. Sebab, bisa di bilang pasar Turi adalah ikon Surabaya, seperti pasar tanah Abang di Jakarta.

"Namun ketika Pemkot ingin menyelesaikan masalah ini, mereka juga akan ragu-ragu karena anggaran juga tidak punya untuk mengakuisisi itu. Konflik internal juga belum selesai," terangnya.

 

Salah Risma

Sementara itu, Pakar ekonomi, Tjuk Kasturi Sukiadi mengatakan bahwa permasalahan ini merupakan salah satu noda hitam dari prestasinya Tri Rismaharini.

"Noda hitam dari pretasi Bu Risma adalah pasar Turi. Kasihan para pengusaha dan pedangan, separuh sudah jadi miskin itu," keluhnya.

Menurutnya, dengan adanya pusat grosir, membuat Pasar Turi semakin klenger.

"Dulu kan semestinya Pasat Turi harus sudah selesai sebelum pusat grosir itu berdiri, tapikan pusat grosir sudah beroprasi bertahun-tahun sedangkan Pasar Turi masih turu terus," ujarnya.

"Pengganti Bu Risma nanti punya keberanian besar nggak dia? Karena korbannya ini banyak," imbuhnya.

Pemerintah Kota Surabaya dinilai sudah membuat kesalahan kepada rakyat dan semestinya membayar.

"Wali kota yang baru nanti harus berani mengambil tindakan yang membuat pasar Turi kembali berjaya lagi. Untuk itu jangan di bebankan pada dana investor saja. Kota juga harus punya anggaran. Jangan di curahkan pada mekanisme pasar saja, harus ada investasi kota," tegasnya. byt/cr2/rl/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU