Presidential Threshold 0 Persen, Dibenci Semua Mafia

author surabayapagi.com

- Pewarta

Rabu, 15 Des 2021 20:27 WIB

Presidential Threshold 0 Persen, Dibenci Semua Mafia

i

Dr. H. Tatang Istiawan

Judul ini sengaja untuk memancing semua Mafia di Indonesia bereaksi. Mafia jenis apa pun tidak suka rakyat diberi peluang memimpin negeri ini. Selama ini para mafia atau cukong politik maunya politisi nurut kemauannya. Makanya calon pemimpin Indonesia harus lolos Presidential threshold 20 persen.

Tujuannya, proses pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden perlu dukungan riil sebagaimana pemilihan calon anggota legislatif.

Baca Juga: Lagi, KPK Periksa Kabag Perencanaan dan Keuangan Setda Lamongan

Dukungan riil tersebut terlihat dari jumlah suara yang diperoleh partai politik pada pemilu legislatif. Peluang capres independen ditutup.

Aturan ini agar orang yang mau jadi presiden dengan aturan 0 persen, diuji komitmen untuk meningkatkan kualitas demokrasi pemilihan presiden hasil dari rezim partai politik. Benarkah PT 20% dapat menunjukkan bobot kualitasnya? Jangan jangan capres pilihan mafia politik atau cukong atau kelompok oligark?

Agar tidak gagal paham, saya segarkan sejarah Mafia di dunia. Literasi yang saya baca, mafia itu sebuah sindikat kejahatan terorganisir yang berasal dari Pulau Sisilia. Sejatinya, Mafia cuma salah-satu di antara beberapa jaringan kejahatan yang juga berasal dari bagian selatan Italia seperti Stidda (dari Sisilia selatan), ‘Ndrangheta (dari Calabria), Sacra Corona Unita (dari Apulia), dan Camorra (dari Campania).

Pertanyaannya, dengan siapa para Mafia bekerjasama kadang berperang?. Dengan orang alim dan jujur.

Maka itu, seiring berjalannya waktu, nama Mafia sering digunakan secara berlebihan, hingga akhirnya menjadi istilah generik (umum) untuk menyebut setiap jaringan kejahatan terorganisir yang memiliki struktur, metoda yang sama yaitu, organisasi terorganisir yang ganggu kepentingan publik.

Presiden Jokowi, minggu lalu malahbmenyebut sederet mafia yang ada di Indonesia. Ada mafia hukum, mafia Alkes, Mafia tanah, Mafia Pelabuhan, Mafia kasus, sampai Mafia proyek. Jokowi tidak menyebut mafia politik. Ini apa ia lupa bahwa mafia politik di Indonesia itu ada? Atau Presiden Jokowi kelewatan menghapal jenis jenis mafia. Terutama mafia politik.

Sebelum ia menyebut deretan mafia, sudah ada istilah-istilah yang rada absurd seperti ‘mafia Russia’, ‘mafia Italia’, ‘mafia Serbia’, atau yang lebih absurd, ‘mafia China’ dan ‘mafia Jepang’. Padahal aslinya Triad dan Yakuza.

Bahasa umum, menyebut nama Mafia terkait masyarakat kriminal rahasia. Aktivitas semacam mafia, menurut sejarah, baru dimulai setelah tahun 1860-an.

Konon mulau tercetus dalam judul sebuah sandiwara lokal Italia, “I mafiusi di la Vicaria” (“Mafiusi Dari Vicaria”). Dalam sandiwara itu nama Mafia atau istilah mafiusi tak sekalipun disebut-sebut. Namun kepada khalayak dipertontonkan kisah tentang sebuah geng penjara di Palermo dengan ciri-ciri Mafia ; beroperasi secara rahasia, seorang boss yang maha-berkuasa, ritual inisiasi, sumpah kesetiaan umirta, dan bagaimana uang bisa diperoleh lewat pemerasan.

Drama ini menjadi tontonan sukses di Italia waktu itu. Dan segera sesudahnya istilah ‘mafia’ mulai bermunculan dalam laporan-laporan pejabat Italia setempat untuk menggambarkan fenomena aktualnya.

Tapi, menurut pengakuan beberapa anggota Mafia sendiri (yang telah berkhianat dan bernyanyi pada penegak hukum), organisasi ini tidak pernah disebut Mafia. Seperti yang pernah diungkap pada tahun 1963 oleh seorang mafia Amrik, Joe Vallachi. Organisasi mereka disebut Cosa Nostra (“Milik Kita” atau “Soal Kita”). Istilah ini, oleh FBI, segera dipahami sebagai istilah yang tepat, dan disebar-luaskan oleh media sampai-sampai hampir menenggelamkan istilah Mafia.

 

***

 

Tak salah oligarki yang bermain di sektor ekonomi sampai politik tak mau menyebut mafia ekonomi, keuangan atau mafia politik. Padahal mempelajari modus modus operandinya, kegiatan oligarki itu mirip bos mafia. Hanya yang bersangkutan tak mau terang-terangan mengklaim mafia ekonomi dan mafia politik.

Selama menjadi wartawan di beberapa bidang termasuk politik dan pemerintahan, saya mengamati banyak orang berlomba untuk menjadi politisi bukan untuk membangun negara, tetapi untuk memperkaya diri.

Praktis, politik uang (money politics) bertebaran di berbagai penjuru nusantara. Ini saya temukan saat saya ngopi di lobi lobi hotel Elmi, Hyatt, Sanghrila di Surabaya sampai Hotel Mulia Jakarta.

Dari sejumlah politisi dan penyelenggara negara mengakui sebuah kebijakan dari pemerintah sering keluar bukan untuk kebaikan rakyat sebagai keseluruhan, tetapi untuk keuntungan segelintir kelompok semata. Bahkan agama pun dimainkan untuk politik kerakusan. Praktik ini justru menghancurkan wibawa dan nilai agama itu sendiri.

Itu lah hasil catatan saya saat berdiskusi soal “politik” Indonesia dengan sejumlah politisi, baik yang ada di Senayan maupun pengurus partai. Hal yang pernah saya ketahui ada makian, kekecewaan dan rasa pesimis dari sebagian politisi yang tidak dapat suara masuk ke gedung Senayan .

Akal sehat saya kadang bertanya apakah semua cacian dan keluhan soal keterpilihannya menjadi wakil rakyat bisa dianggap sebagai politik? Belajar dari Konfusius, pemikir Cina, ada ajaran tentang ketepatan menggunakan kata. Saya mendapat ilmu tentang gambaran ketepatan pemahaman. Nah, keadaan politik di Indonesia saat ini, dalam pemikir Cina tidak bisa disebut sebagai politik. Ia adalah gerak para mafia yang mengaku diri sebagai politisi.

Heh? Anda percaya di Indonesia ada mafia politik? Terserah!

Saya bilang mafia politik itu ada, setidaknya menyerap empat ciri dasar dari mafia. Pertama, mereka adalah sebuah organisasi dengan hirarki yang jelas. Semua anggota memiliki pembagian tugas dan peran yang jelas, mulai dari tukang pukul, koordinator lapangan sama dengan pemimpin tertinggi. Dalam pemerintahan demokratis, ironisnya, kelompok mafia kerap kali mengambil bentuk partai politik.

Baca Juga: Rabu Pon Bagi Jokowi dan Orang Muslim

Dua, mafia berpikir secara sektarian. Mereka hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan seringkali dikorbankan. Dalam arti ini, mereka adalah parasit masyarakat.

Tiga, cara kerja mafia penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kapanpun ada kesempatan, mereka akan mencuri. Mereka akan memasukan teman dan kerabat untuk posisi-posisi yang strategis, walaupun tak ada kemampuan nyata yang diperlukan. Politik dinasti pun menjadi ciri dari kelompok mafia, yakni anak akan mewarisi kekuasaan orang tuanya. Anda percaya? Terserah! Politik dinasti sudah terdengar familiar?

Empat, mafia juga bersikap sok kuasa. Jika dilawan, mereka tak segan menggunakan intimidasi dan kekerasan. Teror dan pembunuhan kerap digunakan untuk menekan lawan-lawan yang ada. Budaya mafia adalah budaya kekerasan yang ditutupi dengan jubah politik, seperti terlihat luhur.

Empat hal tersebut dengan mudah ditemukan di dalam politik Indonesia. Maka dapatlah dikatakan, bahwa budaya mafia kini yang berkuasa di dalam politik Indonesia. Jadi, jangan menggunakan kata politisi, apalagi negarawan, untuk menggambarkan elit politik di Indonesia. Kata mafia politik, sebenarnya, jauh lebih tepat.

Maka itu, kini saat ada warga negara menggugat soal presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi angka 20 persen menjadi 0 persen, beberapa partai lama dan politisi kebakaran jenggot. Apa kerugiannya, bila dalam Pilpres 2024 semua partai bisa mengusung calon presiden (capres) tanpa terpasung persentase suara di parlemen?

Apa ada kepuasan syawat bila tiket capres hanya diperoleh oleh parpol/gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR?. Atau capres-cawapres hanya boleh diusung oleh parpol/gabungan parpol yang memperoleh 25 persen suara nasional.

Secara konstitusional, wajar aturan ini digugat ke MK.

Pertanyaan sederhananya siapa orang yang tak suka seleksi kepemimpinan Indonesia dilakukan secara kompetitif? Politisi biasa atau cukong ( mafia politik)?

Benarkan semua mafia tak suka kalau threshold ambang batas dihapuskan jadi nol?

 

 

***

Baca Juga: Sidang Perdana Sengketa Pemilu, Rabu Pon

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding, ada kepentingan cukong atau pemilik modal di balik keputusan pemerintah dan DPR menggelar pilkada di tengah virus corona yang masih merajalela. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum pilkada menjadi ajang transaksi para ‘pembajak demokrasi’ . Maka itu presidential threshold dipertahankan 20 persen. Konon kepentingan PT 20 persen dicurigai disokong cukong cukong politik.

Bahkan menurut hasil kajian KPK, sekitar 82 persen kepala daerah didanai sponsor. Ada aliran dana dari sponsor kepada para calon kepala daerah yang akan berlaga dalam Pilkada.

Hasil kajian KPK ini mengonfirmasi kecurigaan masyarakat bahwa ada peran para "pemburu rente" di balik Pilkada. Sponsor atau pemodal yang kerap disebut cukong ini berhubungan erat dengan kandidat. Ini terjadi karena ada simbiosis mutualisme antara calon kepala daerah dan para penyandang dananya. Sayang KPK belum pernah mengumumkan tentang benarkah capres -cawapres didanai mafia politik, mafia alkes, mafia proyek, mafia pelabuhan sampai mafia tanah.

Saya pernah berdialog dengan seorang pengusaha Tionghoa Jakarta yang dekat dengan cukong-cukong. Ia bilang umumnya konglomerat atau cukong inginnya Indonesia selalu aman dan stabil. Ini pijakan sejumlah cukong, agar mereka bersama turunannya bisa berbisnis dengan tenang.

Mereka dengan urusan dagangnya, bisa tak mau tahu bagaimana Indonesia bisa mendapatkan legalisme Pilpres yang lebih adil, demokratis dan kompetitif.

Konon ada diantara cukong khawatir bila calon presiden bisa diusung banyak parpol dan independen, (karena aturan presidential threshold nol persen), dapat menciptakan potensi konflik di masyarakat.

Cukong-cukong politik atau mafia politik tampaknya tidak mau berpikir obyektif. Apa? Konsep presidential threshold nol persen hakikatnya baik untuk regenerasi pemimpin di negeri ini. Artinya dengan presidential threshold nol persen, calon-calon pemimpin baru negara ini akan bermunculan di Pilpres 2024 nanti. Bisa jadi yang bertarung bukan pemain lama kayak Prabowo, Sandiago dan Anies. Bisa muncul politisi baru seperti Puan Maharani, La Nyalla Matalitti dan Ganjar Pranowo.

Akal sehatnya, dengan presidential threshold nol persen, pemilihan presiden dan Wakil Presiden bisa mengedepankan gagasan kebangsaan, ketimbang mengedepankan kepentingan parpol.

Artinya dengan presidential threshold nol persen, semua komponen bangsa bisa memberikan hak penuh dan alternatif kepada rakyat untuk memilih pemimpin yang dipercaya dan diinginkan oleh rakyat. Bukan presiden boneka seperti yang selama ini muncul di media sosial. Berbeda dengan cara berpikir semua mafia, yaitu serakah, sok kuasa, praktikan korupsi, kolusi dan nepotisme, mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya serta membudayakan anak akan mewarisi kekuasaan orang tuanya.

Akal sehat saya berharap dengan presidential threshold nol persen, bisa dipakai sebagai momentum untuk merdeka dari kesenjangan sosial, singkirkan oligarki maupun mafia ekonomi dan kesehatan berserta semua mafia lainnya. Semoga.( [email protected])

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU