RUU KUHP Sejak 1963 Disahkan DPR-RI

author surabayapagi.com

- Pewarta

Selasa, 06 Des 2022 21:21 WIB

RUU KUHP Sejak 1963 Disahkan DPR-RI

Masih Ada Pasal Penghinaan yang Batasi Rakyat untuk Berdemokrasi dan Bungkam Aspirasi dan Kritik Masyarakat

 

Baca Juga: Dalam Kapasitas Ketua DPR, Puan Ngaku tak Panas

SURABAYAPAGI.COM, Jakarta - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dirancang sejak tahun 1963, akhirnya disahkan DPR-RI, Selasa (6/12/2022). Praktis, KUHP buatan Belanda disingkirkan usai DPR RI resmi mengesahkan RKUHP menjadi Undang-undang (UU). Pengesahan UU KUHP ini setelah melintasi 7 kali ganti presiden dan 14 kali pergantian DPR RI

Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan terbuka jika ada masyarakat yang tidak setuju dengan keputusan pengesahan RUUKUHP menjadi UU KUHP.

"Kami tidak pernah mengatakan ini pekerjaan sempurna, karena ini adalah produk dari manusia. Tidak akan pernah sempurna," kata Pacul, panggilan akrab Bambang Wuryanto, dalam konferensi pers di gedung Nusantara II, kompleks parlemen, Senayan, Selasa (6/12/2022).

Pacul menyebut dalam keputusan tersebut pasti ada pro dan kontra. Ia mengingatkan masyarakat yang tidak setuju untuk menempuh jalur hukum.

 

Silakan Ajukan Judicial Review

"Nah kalau ada memang merasa sangat mengganggu, kami persilakan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu berdemo. Kita berkeinginan baik, dikau juga berkeinginan baik," kata Pacul.

"Oleh karena itu, yang masih tak sepakat dengan pasal yang ada, silakan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi melalui judicial review," sambungnya.

Hal senada juga diungkapkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, bahwa masyarakat atau pihak-pihak lain yang merasa keberatan dengan disahkan UU KUHP ini, dapat mengajukan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Fraksi PKS Soroti Pasal Penghinaan Presiden

Sementara dalam pengesahan RKUHP menjadi UU KUHP, seluruh fraksi di DPR RI menyatakan setuju. Hanya Fraksi PKS yang setuju tetapi dengan memberikan catatan. Saat itu, Fraksi PKS diwakilkan oleh Dimyati Natakusumah.

Alasan PKS setuju dengan catatan adalah ada beberapa pasal yang menurut mereka bertentangan dengan kebebasan demokrasi. Salah satunya terkait pasal penghinaan kepada presiden.

"Menyetujui dengan memberikan beberapa catatan sebagai berikut, beberapa pasal 219, 240, 412," kata Dimyati.

Dimyati menyebutkan PKS menolak rumusan pasal penghinaan lantaran membatasi rakyat untuk berdemokrasi. Ia menilai pasal tersebut mampu membungkam aspirasi dan kritik masyarakat.

 

Delik - delik Feodalisme

"Dalam hal ini Fraksi PKS konsisten menolak terhadap rumusan detik-delik penghinaan terhadap presiden dan lembaga-lembaga negara dari dalil tersebut dirasakan kental dengan semangat feodalisme dan kolonialisme yang sejatinya ingin direformasi dari KUHP yang lama," kata dia.

"Satu hal yang disayangkan apabila rumusan delik KUHP tersebut justru menjadi alat yang dapat membungkam aspirasi dan kritik rakyat kepada penguasa," sambungnya.

 

PKS Dianggap tak Konsisten

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memberikan penjelasan terkait kesepakatan fraksi atas pengesahan RKUHP. Dia menyebut semua fraksi sudah setuju dan sepakat saat pengambilan keputusan tingkat pertama, yakni di Komisi III DPR.

Dasco menyebut PKS tidak konsisten, terlebih yang menyampaikan interupsi bukan pimpinan fraksi.

"Kita rasa tidak konsisten, apalagi yang menyampaikan bukan pimpinan fraksi yang tidak hadir pada saat ini," ujarnya.

Munculnya interupsi dari salah satu anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS yakni Iskan Qolba Lubis. Saat itu, Sufmi yang akan mengetok palu tanda disahkan RKUHP menjadi UU KUHP, dan menyatakan semua fraksi di DPR RI menyetujui RKUHP disahkan menjadi UU tetapi ada beberapa catatan. Namun, Iskan Qolba langsung melakukan interupsi.

Baca Juga: Menkumham Ajak Mahasiswa Gunakan Logika dan Selektif Menerima Informasi

 

Pasal Menghina Pemerintah

Iskan mengaku masih mempunyai dua catatan dalam RKUHP, yang pertama adalah pasal 240 yang bisa dikatakan sebagai pasal karet yaitu menghina pemerintah maupun lembaga negara bisa dihukum, padahal kritik terhadap pemerintah itu perlu. Untuk itu, Iskan minta pasal ini dicabut.

“Pertama adalah pasal 240 yang menyebutkan, yang menghina pemerintah, lembaga negara dihukum. Tidak tahu ini pasal karet yang akan menjadikan negara Indonesia dari negara demokrasi menjadi negara monarki. Saya meminta supaya pasal ini dicabut," kata Iskan.

Kemudian yang kedua, kata Iskan, adalah pasal 218 soal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang akan mengambil hak-hak rakyat untuk mengkritik presiden dan bisa jadi ancaman bagi para pendemo atau pengunjukrasa.

“Pasal ini akan mengambil hak-hak masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya. Pasal ini akan dipakai oleh pemimpin-pemimpin yang akan datang. Apalagi pasal 218 menghina presiden dan wakil presiden. Kalau yang pasal 240 itu adalah lembaganya. Di seluruh dunia rakyat itu harus mengerti pemerintahnya tidak ada yang tidak punya dosa, hanya para nabi yang tidak punya dosa. Presiden pun harus dikritik,” tegas Iskan.

Dia juga berencana mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi kalau pasal tersebut tidak dicabut. “Jadi, saya nanti akan mengajukan ke MK pasal ini,” kata Iskan.

Hingga akhirnya, Iskan pun melakukan aksi walk out meninggalkan ruang sidang paripurna DPR RI. Hanya Iskan saja yang melakukan aksi walk out diantara Fraksi PKS yang hadir.

 

Berlaku 3 Tahun Lagi

Sementara itu, setelah disahkan, KUHP yang baru atau UU KUHP, efektif akan berlaku dan dipakai di dalam masyarakat tiga tahun setelah disahkan secara resmi oleh DPR bersama pemerintah.

"Karena baru disahkan hari ini (Selasa 6 Desember 2022, red), KUHP baru akan berlaku tahun 2025 mendatang. Waktu tiga tahun cukup buat Pemerintah membuat aturan turunan serta melakukan sosialisasi termasuk memberikan pelatihan kepada penegak hukum dan para pemangku kepentingan terkait," kata Yasonna Laoly, usai pengesahan RKUHP.

Menurut Menteri yang juga berasal dari PDIP ini,  Pemerintah akan sosialisasikan UU KUHP kepada Jaksa, Hakim, Polisi, Advokat, Pegiat HAM, dan dosen/pengajar ilmu hukum.

“Jaksa, hakim, polisi, advokat, pegiat HAM, kampus-kampus juga agar tidak salah mengajar nanti. Harus ada dan kami harus menyusun dari sekarang sosialisasi terhadap stakeholders yang ada,” ujarnya.

Baca Juga: Para Eksil Korban 1965, Dibolehkan Pulang Lagi ke Indonesia dengan Visa dan Kitas Gratis

 

7 Presiden dan 14 DPR RI

Dengan disahkan RKUHP menjadi UU KUHP, Selasa (6/12/2022), yang sejak tahun 1963 dirancang. Berarti diskursus RUU KUHP ini telah melewati 7 kali ganti Presiden RI dan 14 kali periode DPR RI.

Yakni sejak Presiden RI pertama Soekarno, kemudian Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan terakhir Joko Widodo.

Kemudian perdebatan RUU KUHP ini melewati 14 kali periode DPR RI mulai dari DPR Gotong Royong 26 Juni 1960 - 15 November 1965. Hingga 13 kali DPR masa Order Baru dan DPR pasca reformasi, baru ini.

Perdebatan penting setidaknya juga telah melampaui 19 Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), yaitu di antaranya Sahardjo, Wirjono Prodjodikoro, Astrawinata, Oemar Seno Adji, Mochtar Kusumaatmadja, Mudjono, Ali Said, Ismail Saleh, Oetojo Oesman, Muladi, Yusril Ihza Mahendra, Baharuddin Lopa, Marsilam Simanjuntak, Mahfud MD, Hamid Awaluddin, Andi Mattalata, Patrialis Akbar dan Amir Syamsuddin.

Hingga akhirnya di zaman Menkumham Yasonna Laoly, RKUHP kini disahkan DPR menjadi Undang-undang.

 

KUHP Era Kolonial

KUHP yang berlaku saat ini di Indonesia adalah Code Napoleon Prancis yang berlaku tahun 1810. Prancis kemudian menjajah Belanda dan Prancis memberlakukan KUHP di Belanda pada 1881.

Kemudian KUHP dibawa Belanda ke Indonesia pada saat menjajah Nusantara. Pemerintah kolonial Belanda pun memberlakukan code itu secara nasional pada 1918 dengan nama Wet Wetboek van Strafrecht.

Wet Wetboek van Strafrecht itu lalu menggusur seluruh hukum yang ada di Nusantara, dari hukum adat hingga hukum pidana agama. Nilai-nilai lokal juga tergerus hukum penjajah.

Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 tidak serta-merta mengubah hukum yang berlaku. jk/erk/cr3/litbangSP/ana/rmc

Editor : Moch Ilham

BERITA TERBARU